Home » » Problem Unas Dan Harga Diri Guru

Problem Unas Dan Harga Diri Guru

Oleh: Ardhie Raditya*
Ketika pesawat AS menghujani Hirosima dan Nagasaki dengan bom atom, kaisar Jepang Hirohito sontak tiarap di lantai. Setelah dentuman bom atom tak terdengar lagi, ia pun langsung berdiri tegap. Sambil menatap puing-puing reruntuhan bangunan dan mendengarkan jeritan kesakitan rakyat serta sirine ambulans, Hirohito pun mengumandangkan sebuah tekad. ‘Berapa banyak guru yang masih hidup? Kita akan segera bangkit lagi menjadi bangsa yang terhormat di muka bumi ini’.
Luar biasa apa yang dikatakan kaisar Jepang itu. Sebab guru merupakan aktor yang pertama kali disebutnya untuk membenahi kehidupan bangsanya yang sedang dilanda krisis akibat perang. Ini tentu sangat beralasan dan berlandaskan pada hati nurani, karena guru adalah faktor utama keberhasilan pendidikan. Guru pulalah yang paling tahu potensi apa yang ada dalam siswanya. Bagaimana potensi itu harus dikembangkan dan dibebaskan dari jerat ketidaksadarannya, demi membangun martabat diri, keluarga dan bangsanya. Intinya, guru adalah sosok yang memiliki otoritas penuh dalam proses pendidikan para siswanya di sekolah.
Itulah sebabnya, di sejumlah negara yang pemerintahnya sangat melek dan sadar pendidikan, gaji gurunya sangat tinggi. Baik di Malaysia, Jepang, Singapura, Vietnam, Cina, Jerman, dll. Sehingga, tak heran bila para guru di sana melakukan pekerjaannya secara profesional. Tanpa harus direcoki tangan tak terlihat dari elite pusat.
Ironisnya, di bangsa kita, guru dianggap sekedar sekrup-sekrup penguasa. Guru adalah boneka yang bisa dipermainkan dan didekte seenaknya oleh elite kekuasaan. Tak ada yang namanya otonomi sekolah, desentralisasi guru, apalagi otoritas guru di sekolah. Semua guru pun harus mengikuti aturan main kekuasaan pusat tanpa ada kata seru dan gerutu sedikitpun. Melakukan improvisasi dan inovasi pendidikan di luar prosedur pusat, maka akan dianggap patologis dan anomik. Sentralisasi pendidikan dan pereduksian otonomi guru itu tampak sekali dalam pelaksanaan Unas (Ujian Nasional).
Padahal, sudah jelas di dalam UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003, pasal 39 ayat 2 mengatakan bahwa pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan suatu proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan, pelatihan, dan penelitian. Dan, dalam pasal 56 ayat 1, juga menyebutkan bahwa evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh para pendidik untuk memantau proses kemajuan dan perbaikan hasil pembelajaran. Dari sini tentu dapat disimpulkan bahwa guru memiliki keleluasaan dalam menentukan kelulusan siswanya. Ujian apa yang pantas diberikan kepada siswanya dan bagaimana standar penilaiannya terletak di tangan para guru.
Memang, dibandingkan bangsa lain, pendidikan kita kini masih jauh tertinggal. Survei Political and Economic Risk Consultant (PERC) baru-baru ini menunjukkan bahwa kualitas pendidikan kita berada pada urutan buncit (ke-12) dari 12 negara di Asia. Posisi Indonesia ini masih jauh di bawah Cina. The World Economic Forum Swedia pun melaporkan bahwa Indonesia memiliki daya saing yang rendah, yaitu menduduki urutan ke-37 dari 57 negara yang disurvei di dunia.
Masih menurut survei dari lembaga yang sama, Indonesia hingga saat ini hanya berpredikat sebagai follower, bukan leader of teknologi dari 53 negara di dunia, meskipun belakangan banyak siswanya menjuarai lomba-lomba bertaraf internasional.
Kondisi demikian, tentu menjadi bagian faktor penyebab mengapa Human Development Index (HDI) kita sulit merangkak naik. HDI Indonesia sejak tahun 1975 tak pernah mencapai posisi seratus besar. Bahkan, kini hanya menempati rangking 111 dari 175 negara. Wajar, jikalau HDI kita tertinggal jauh dengan negara tetangga, seperti Singapura (25), Brunai (33), Malaysia (58), Thailand (76). Termasuk juga dengan negara yang notabene ‘terbelakang’ seperti Kirgistan (110), Guenia-Katulistiwa (109) dan Aljazair (108).
Karena itu, tak heran demi meningkatkan kualiatas pendidikan kita, pemerintah melakukan strategi edukatif. Yakni, dengan cara menyelenggarakan Unas dengan standar minimal kelulusan. Jika tahun 2006 lalu standar kelulusan Unas itu 4,50, maka dalam tahun 2009 ini ditingkatkan menjadi 5,50.
Mengimpikan Guru Profesional
Akan tetapi, Unas memiliki nilai belum komprehensif dari sisi edukatif, karena mengesampingkan keberagaman kemampuan siswanya. Padahal, dalam pendidikan itu kemampuan siswa berlandaskan pada 5 H. Yakni, Hand (keterampilan), Heart (psikologis), Head (intelegensi), Humanity (kemanusiaan) dan Happy (kebebasan). Dalam UN itu sendiri hanya mengacu pada pengukuran tingkat intelegensi siswa saja. Sedangkan, kemampuan siswa yang bersifat psikologis, humanitas, keterampilan dan kebebasan memilih menjadi terabaikan.
Karena itu, sangat beralasan jika banyak siswa yang berprestasi di bidang kesenian, olahraga, kebahasaan, keagamaan, kemanusiaan dan kemasyarakatan terpeleset dari ujian nasional, tidak memenuhi standar kelulusan. Tahun lalu saja, ada seorang siswi di Jakarta yang tidak lulus Unas gara-gara nilai matematikanya tak memenuhi standar kelulusan. Padahal, dirinya mendapat beasiswa untuk melanjutkan sekolah ke luar negeri. Karena tidak memenuhi standar kelulusan dalam Unas itu, maka impiannya melanjutkan studi ke luar negeri menjadi terhambat.
Sebetulnya, untuk meningkatkan kualitas pendidikan kita ini tak perlu dilakukan cara-cara yang sentralistik dan seragam dari Sabang sampai Merauke. Jika cara seperti ini yang dilakukan, maka di tingkat bawah akan banyak berbagai aksi resistensi masyarakat untuk tidak memuluskannya. Gejala beredarnya kunci jawaban Unas dan kebocoran soal Unas yang dilakukan masyarakat pendidikan adalah salah satu bentuk aksi resistensi ini.
Yang perlu dilakukan ke depan adalah memberi ruang kepada para guru untuk melaksanakan perannya sebagai pendidik yang profesional. Yakni, pendidik yang mampu mengarahkan dan mengembangkan kemampuan siswa serta membebaskan mereka dari berbagai belenggu kemalasan, kebodohan, ketidakterampilan dan ketidakmanusiaan. Paradigma yang kognitif centris mulai sekarang harus mulai dibaurkan dengan paradigma berbasis humanitas, psikologis, psikomotorik, sosiologis dan teologis. Ini perlu dilakukan karena dari sinilah awal terciptanya kualitas pendidikan di masa depan..
Tentu, pendidik yang profesional ini tidak akan muncul dan menyebar di pelosok negeri ini, jika pemerintah masih menggunakan sistem pendidikan sentralistik dan memberi reward ekonomis yang minim bagi mereka. Jika pendidik profesional ini belum maksimal kuantitasnya, maka amat mungkin kualitas pendidikan kita akan jauh tertinggal dengan negeri tetangga. Meskipun standar kelulusan ujian nasional itu pun dinaikkan dari tahun ke tahun. Betul?
*)Sosiolog dari FIS-Unesa, peneliti luar biasa di UCYD UNS

KORAN PAK OLES/EDISI 174/1-15 MEI 2009
Thanks for reading Problem Unas Dan Harga Diri Guru

« Previous
« Prev Post
Next »
Next Post »

0 komentar:

Posting Komentar