Home » » Fenomena Gerindra Dan Hanura

Fenomena Gerindra Dan Hanura

Oleh: GPB Suka Arjawa
Keberhasilan Partai Gerindra (Gerakan Indonesia Raya) dan Hanura (Hati Nurani Rakyat) masuk ke dalam 10 besar pemilu legislatif (meski hasil masih sementara), cukup mengejutkan berbagai pihak. Kedua partai itu sekarang berada pada posisi ke-8 dan 9 perolehan suara secara nasional. Jika pada masa pemilu-pemilu sebelumnya, PKB, PAN ataupun Partai Demokrat berhasil masuk 10 besar pada penampilan pertama kali, tidaklah terlalu mengejutkan. PAN mengandalkan massa Muhammadyah, PKB dipilih warga Nahdlatul Ulama, dan Partai Demokrat memiliki kharisma Susilo Bambang Yudoyono.
Dibanding PKS (Partai Keadilan Sejahtera), fenomena Hanura dan Gerindra berbeda. PKS mempunyai basis pemilih intelek, cenderung yang beragama Islam dan datang dari kampus. Gerindra dan Hanura, meski pasti ada pemilih intelektual yang melekat padanya, tetapi kelekatan tidak menjadi ciri dan karakter utama dari partai. Yang justru menjadi ciri dua partai itu malah sisi militer yang melekat pada top pimpinan. Gerindra dibidani Prabowo Subianto, tokoh militer angkatan darat Indonesia. Hal yang sama juga Wiranto.
Dalam bahasa politik, kemungkinan besar dua partai tersebut mendapatkan dukungan dari kelompok patriot. Artinya mereka mendapat sokongan dari pemilih berkarakter tegas, menginginkan perubahan dan disiplin. Tentu semua masyarakat Indonesia mencintai negaranya akan tetapi mereka yang memilih Hanura dan Gerindra adalah kelompok masyarakat yang mempunyai karakter lebih dalam. Keberadaan Wiranto dan Prabowo yang sama-sama mantan prajurit militer, menegaskan bahwa jika dijalankan partai-partai yang berbasis militer, negara dan pembangunan negara bisa dilakukan dengan baik, tegas dan disiplin.
Jika analisis di atas benar, itu juga mencerminkan munculnya kritik kepada partai-partai lain dan kritik kepada para politisi di Indonesia yang dipandang kurang tegas. Kritik umum yang diberikan kepada pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono adalah kelambatan dan sikap ragu-ragu membuat keputusan. Partai Golkar boleh jadi dinilai opurtunis, mencari-cari kesempatan dan selalu ingin berkuasa. Keputusan Jusuf Kalla “menempel” Susilo Bambang Yudoyono dipandang sebagai tindakan yang selalu berada di dalam kekuasaan, padahal Golkar mempunyai sejarah sudah lebih dari 30 tahun mengendalikan kekuasaan di Indonesia. Bukan tidak mungkin masukkan Kalla sebagai wakil presiden dinilai sebagai tindakan “rakus”, atau tidak berani menjadi oposisi. Padahal oposisi bukanlah pilihan jelek dan justru bermakna positif dalam konteks pemerintahan. Sedangkan PDI Perjuangan telah terbukti elit-elitnya tidak mampu membuat keputusan yang mantap.
Setelah muncul sebagai partai yang bebas dari tekanan Orde Baru, partai ini justru tidak mampu menggolkan tujuan puncak. Tahun 1999, PDI Perjuangan gagal total mendudukkan Megawati Sukarnoputri sebagai presiden. Kalaupun kemudian menjadi presiden, itu juga akibat adanya dinamika politik yang menjatuhkan Gus Dur di pemerintahan. Jadi, kegagalan Megawati diibaratkan sebagai kegagalan memasukkan bola dari tendangan penalti (dalam pertandingan sepak bola). Tahun 2004, PDI Perjuangan malah tidak mampu meraih suara paling banyak, baik dalam pemilihan umum legislatif, apalagi pemilu presiden. Berbagai pemilihan kepala daerah, baik untuk kategori gubernur maupun bupati (bahkan kepala desa), calon-calon yang diunggulkan PDI Perjuangan bertumbangan. Ini menandakan, elit-elit PDI Perjuangan tidak mampu bermain politik secara maksimal.
Faktor lain yang ikut mendukung keberhasilan Hanura dan Gerindra masuk 10 besar adalah tema kampanye saat muncul ke panggung politik. Meski berkali-kali telah dikatakan bahwa masyarakat Indonesia kurang memakai hati nurani dalam berpolitik dan pemilihan pemilihan umum, Hanura muncul dan menegaskan bahwa kekurangan hati nurani itu memang ada dan harus segera diperbaiki. Hanura muncul untuk menegaskan hal itu melalui nama dan tema Partai Hati Nurani Rakyat. Dengan begitu, boleh jadi pengikut dan pemilih partai ini adalah mereka yang mengimpikan kejujuran dan hati nurani rakyat yang bebicara.
Kampanye yang berkepanjangan dari Partai Gerindra di televisi, harus diakui sebagai trik yang berhasil menyentuh masyarakat luas. Tema koreaksi terhadap pemerintah dan janji ke arah perbaikan terhadap kaum miskin, melalui data statistik yang diucapkan (meski masih secara global), membuat masyarakat pendengar tergugah dan percaya. Pemilihan terhadap Gerindra boleh jadi mencerminkan masih banyaknya masyarakat Indonesia yang dilanda kemiskinan sehingga dengan demikian, dapat dijadikan acuan bagi pemerintah mendatang untuk membuat keputusan-keputusan politik.
Dari sisi elit politik, kedua partai ini terlihat lihai dan mampu “menumbangkan” tokoh-tokoh dari pecahan partai besar, antara lain pecahan dari PDI Pejuangan yang membentuk Partai Demokrasi Pembaruan atau PNBK. Kedua partai ini tidak mampu menembus 10 besar. Sebagai partai baru, tanpa basis agama ataupun tokoh kharismatis, keduanya harus diacungi jempol. Di masa depan, jika benar cara mengelolanya, bukan tidak mungkin keduanya akan lebih berhasil lagi menggebrak panggung politik Indonesia.
*) Penulis lepas, tinggal di Badung, Bali.KORAN PAK OLES/EDISI 173/16-30 APRIL 2009
Thanks for reading Fenomena Gerindra Dan Hanura

« Previous
« Prev Post
Next »
Next Post »

0 komentar:

Posting Komentar