Home » » Ironi Dialog Kepentingan

Ironi Dialog Kepentingan

Kegelisahan dasariah yang bersemayam di dada penguasa bukan soal suksesi. Bayang-bayang kecurigaan adalah hantu yang senantiasa menghampiri setiap pemimpin. Tidaklah mengherankan bila Nero yang bingung membakar sendiri kota Roma yang menjadi simbol kemegahan Kekaisaran Romawi.
Sejarah kekuasaan adalah kisah yang selalu terkejut. Ceritera hidup yang kerap terpenggal tanpa ending. Selalu mulai lagi dari penuturan awal dengan latar kisah, alur dan kehadiran tokoh yang baru. Itulah kisah hidup yang kini tengah terjadi di negeri ini.
Meski filosofi kekuasaan sering dihiasi bunga-bunga pengabdian demi rakyat maupun negara, tapi karakter kekuasaan adalah kecurigaan itu sendiri.
Sematang apapun kepribadian seorang raja, ratu, perdana menteri, presiden tetap saja ia tertular “virus” kecurigaan. Sebab kekuasaan selalu memberi wewenang, otoritas, mandat dan hak prerogatif pada seseorang. Dan, setiap wewenang yang diemban tak pernah lepas dari “kepentingan”. Pengembangan ilmu apa saya tidak pernal lepas dari sebuah kepentingan. Penyebaran agama pun lahir dari sebuah kepentingan. Bantuan kemanusiaan juga bergulir dari sebuah kepentingan. Begitu juga politik tidak pernah netral di hadapan kepentingan. Hal inilah yang membuat setiap penguasa selalu curiga kepada lawan dan kawan!
Bukan hal mengagetkan bila gerbong demokrasi ditarik oleh “kepentingan diri” yang didukung oleh mayoritas rakyat. Mazhab demokrasi adalah panggung sandiwara. Meski manusia modern mengagungkan demokrasi sebagai “ideologi” persamaan hak dan kewajiban yang cemerlang, tetapi demokrasi bukanlah akhir.
Demokrasi diidealkan sebagai ruang dialog kepentingan. Sampai saat ini, sekat-sekat dialog yang memungkinkan “harapan” rakyat bersemi belum sepenuhnya terwujud. DPR masih menjadi ladang pekerjaan yang diburu para pengangguran. Para pemimpin negara kerap dipilih bukan karena programnya tetapi karena rasa kasihan. Akrobat politik yang cantik dipamerkan para calon presiden. Konstituen terbuai dan memilih atas dasar “kepentingan” yang lahir dari rasa iba! Itulah kenapa calon pemimpin independen tidak menemukan ruang tumbuh di negara demokrasi seperti Indonesia.
Tidak apa-apa. Demokrasi adalah sejarah dialog yang panjang. Kita juga tidak akan menyangka kalau di pilpres 2014, setiap kandidat capres/cawapres diuji oleh tim panelis. Atau di tahun 2045, lahir pemimpin bermental kapitalis nasionalis. Semua gerak pembangunan demi kesejahteraan rakyat bukan demi kelanggengan kekuasaan. Semoga rasa cinta, sayang dan harapan suci di hati petani, nelayan, pemulung yang terbangun di pinggiran kota dan setiap pojok desa dihargai. Mereka hanya ingin anak, isteri, suami dan orang terkasih tidak mati kelaparan di Republik ini.
KORAN PAK OLES/EDISI 174/1-15 MEI 2009
Thanks for reading Ironi Dialog Kepentingan

« Previous
« Prev Post
Next »
Next Post »

0 komentar:

Posting Komentar