Home » » Memasyarakatkan (Kembali) Wayang

Memasyarakatkan (Kembali) Wayang

Oleh: A. Zaenurrofik*
Wayang, pernah begitu akrab dan membumi di masyarakat kita. Era sebelum tahun 70-an, kejayaan wayang masih bisa dirasakan. Begitu banyak orang punya hajat menyajikan wayang. Upacara-upacara adat juga banyak menampilkan wayang. Bahkan kegiatan penyuluhan juga banyak menggunakan wayang, sehingga lahirlah Wayang Suluh, yang diciptakan oleh Sukemi dari Madiun. Namun kini situasi telah berbalik. Wayang tak lagi akrab dengan masyarakat. Bahkan generasi muda sekarang mayoritas tak begitu mengenal tokoh seperti Subali, Gunawan Wibisono, Bisma, Kresna, Werkudara, Karna, dan tokoh pewayangan lainnya. Mereka lebih mengenal artis-selebritis dan tokoh komik dan kartun rekaan Jepang.
Bisa jadi, popularitas wayang Indonesia lebih populer di luar negeri daripada di dalam negeri sendiri. Kala Ki Ledjar Soebroto menggelar petunjukan Wayang Kancil di Belanda, Jerman dan Prancis, ia menjumpai banyak kartu pos dengan gambar Wayang Kancil bermotif batik. Apresiasi warga Eropa sangat besar terhadap budaya Indonesia. Suatu hal yang berkebalikan di negeri kita sendiri. Apresiasi serupa ditunjukkan oleh Tibor Weiner Sennyey, seorang penyair Hungaria, dalam acara bedah buku Ezster Tari, (seniman asal Hungaria yang mendapat beasiswa dari Pemerintah RI) berjudul “Wayang Jawa”, juga melayangkan pujian kepada budaya wayang Indonesia.
Eksistensi wayang semakin terdesak. Bahkan beberapa jenis wayang terancam keberadaannya, karena hampir-hampir tidak lagi bisa diketemukan wujud fisiknya ataupun pementasannya. Wayang Beber, yang dikreasi oleh Prabu Mahesa Tandreman, Raja Pajajaran misalnya, sudah sangat sulit dijumpai pertunjukan dan bentuk fisiknya. Begitu pula dengan Wayang Kidang Kencono. Wayang hasil kreasi Sunan Giri ini juga tidak bisa ditemui lagi. Keberadaannya yang tercatat dan terawat hanya bisa ditemukan di Museum Wayang Sendang Mas di Banyumas.
Sangat disayangkan bahwa budaya yang turut membentuk identitas nasional kita tersebut keberadaannya semakin terpinggirkan. Padahal budaya kita tersebut merupakan salah satu warisan budaya yang keberadaannya ditetapkan oleh UNESCO sebagai Karya Agung Warisan Budaya Lisan dan Non Bendawi Manusia (Masterpieces of the Oral and Intangible Heritage of Humanity) yakni bentuk penghargaan badan dunia PBB (UNESCO) bagi karya budaya yang dianggap bernilai tinggi bagi peradaban umat manusia.
Upaya Memasyarakatkan
Banyak kalangan menyatakan bahwa petunjukan wayang dinilai menjemukan. Sedikit sekali kreasi yang dilakukan oleh dalang dalam penyampaian cerita. Pakem wayang yang kaku seperti alur cerita yang dianggap monoton dan berputar pada itu-itu saja dianggap menjadi mandeknya proses kreasi baru terhadap wayang. Tertutup dan mandeknya kreasi justru akan menjadi salah satu faktor pemercepat punahnya wayang dan dijauhi oleh masyarakat. Karenanya, kreasi, inovasi, terbuka pada perubahan, sangat penting agar wayang bisa diterima secara luas oleh masyarakat, sehingga ancaman kepunahan dapat ditangkal.
Kalau kita melihat kembali ke belakang, sebenarnya kreasi wayang bukan sesuatu yang ditabukan. Justru dengan mengkreasi, akan melahirkan dialektika sehingga tercipta keragaman jenis wayang dengan alur cerita yang sesuai dengan jamannya. Adalah Prabu Mahesa Tandreman Raja Pajajaran pada tahun 1350, yang memerintahkan untuk merubah dan memperbesar “gambar Wayang Purwo”. Sunan Bonang juga memperbarui Wayang Karucil atau Klitik yang sebelumnya diciptakan oleh Raja Brawijaya V. Beliau menambah cerita dengan memasukkan Damarwulan dan Ratu Ayu dari Majapahit. Wayang Keling di Pekalongan pun juga mengalami perubahan. Pementasan yang dulunya dilakukan hanya dengan menggunakan bahasa tutur dari dalang saja tanpa disertai dengan peralatan musik, dalam perkembangannya disertai dengan beragam perangkat musik dan diiringi dengan gending-gending.
Pada saat ini, muncul dalang-dalang yang secara cerdas mengkreasi wayang. Salah satunya adalah dalang Ki Enthus Susmono yang telah menciptakan Wayang Rai Wong atau Wayang Berwajah Manusia. Wayang Rai Wong hanya salah satu dari delapan jenis wayang ciptaannya. Ciptaannya yang lain adalah Wayang Ramayana Pesisiran, Wayang Planet Kombinasi, Wayang Wali dan tokoh terkenal, Wayang Prayungan (campuran gaya Solo dan Cirebon), Wayang Golek Purwa Rai Wong, Wayang Golek Cepak Rai Wong, Wayang Klasik Gubahan dan Aneka Gunungan. Koleksi Wayang Rai Wong ciptaan Enthus kini menjadi salah satu koleksi Museum of Folk Art di New Mexico (Amerika Serikat) dan MuseumTropen (Belanda).
Asep Sunarya, yang menciptakan tokoh Si Cepot, yakni wayang golek yang rahangnya bisa bergerak-gerak dan menarik busur panah tanpa bantuan dalang, juga telah melampaui pakem wayang golek. Kresinya ini membuahkan dianugerahinya gelar Professor oleh Institute International De La Marionnette di Charleville, Prancis.
Ki Mantep dan Ki Anom Suroto, juga kerap mengajak para pelawak, penyanyi dangdut dan campur sari dalam pementasannya. I Made Sidia bahkan mengombinasikan antara musik tradisional dengan musik kontemporer modern yang dimainkan oleh orang Amerika Serikat, tatkala menggelar pertunjukan bertajuk &idquo: Balinese Shadow Pupperty- Spring 2009&rdquo, di gedung Konsulet Jenderal Republik Indonesia, New York.
Penyampaian dalang dengan menggunakan bahasa yang tidak lagi akrab dengan khalayak, menyulitkan penyampaian cerita dan pesan yang disampaikan. Karenanya, tak ada salahnya menggunakan bahasa yang mudah dipahami oleh khalayak. Maharsi, dalang asal Semarang saat menggelar petunjukan di Hannover, Jerman, juga banyak menggunakan bahasa Jerman, meskipun terbata-bata. Dalang Ki Mantep Sudarsono juga tak menabukan penggunaan bahasa asing. I Made Sidia, dalang asal Bali juga tak alergi dengan penggnaan bahasa asing dalam pementasan wayang. Unsur yang terpenting adalah bagaimana agar gagasan dan pesan bisa dipahami secara luas oleh masayarakat.
Institusi pendidikan mengemban pula visi memasyarakatkan wayang. Nilai-nilai dan ajaran moral yang terkandung dalam wayang, merupakan nilai universal. Karenanya, sangat layak, wayang dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan. Wayang melalui tokoh-tokoh sentral dari lakon-lakon tertentu mengajarkan nilai-nilai yang secara dogmatis tidak sebagai suatu indoktrinisasi, tetapi ia menawarkan ajaran-ajaran dan nilai-nilai kepada siswa dan guru pada khususnya, dan masyarakat pada umumnya. Jika di Inggris wayang telah di masukkan dalam kurikulum pendidikan dari tingkat sekolah dasar hingga lanjutan tingkat atas, di Indonesia pun sebenarnya bisa karena ragam wayang kita jauh lebih banyak dan terkandung nilai moral dan filosofis di dalamnya. Pelajaran moral yang bisa dipetik dari tokoh Bisma misalnya, adalah pentingnya kerjasama dan persatuan. Dalam nasehatnya kepada Raja Drestareta, ia mengatakan “Semut saja bisa bersatu, mengapa manusia tidak?”. Pernyataannya tersebut dilatar belakangi oleh ketidak setujuannya dalam mengatasi konflik antara pandawa dan kurawa dengan membagi negara Hastina menjadi dua. Resi Wyasa dalam tokoh Mahabarata, juga mengajarkan bagaiamana berbuat tulus dan ikhlas, mensyukuri anugerahNya, tidak berbuat aniaya terhadap orang lain meskipun telah menyakitinya.
Ikhtiar untuk memasyarakatkan wayang dengan kreasi dan inovasi, hendaknya jangan dianggap sebagai upaya subversi terhadap pakem. Namun sebagai bagian dari gerak maju wayang itu sendiri. Perkembangan masyarakat dengan budayanya semakin dinamis. Jika para pelaku dan pecinta wayang tak mampu mendinamisasikan wayang, bisa dipastikan bahwa wayang akan semakin dilupakan oleh masyatrakat. Dibutuhkan sinergi antara kreasi dari pecinta wayang dengan semua pihak seperti lembaga pendidikan, guna memasyarakatkan wayang.
*) Peneliti Center for Social Science and Religion( CSSR), Surabaya.
KORAN PAK OLES/EDISI 174/1-15 MEI 2009
Thanks for reading Memasyarakatkan (Kembali) Wayang

« Previous
« Prev Post
Next »
Next Post »

0 komentar:

Posting Komentar