Home » » Rentetan Tragedi, Salah Siapa?

Rentetan Tragedi, Salah Siapa?

Belum hilang duka atas jebolnya tanggul Situ Gintung, menyusul kecelakaan pesawat Fokker TNI AU yang menewaskan 24 anggota pasukan Khas TNI AU. Begitu gampang kecelakaan pesawat terjadi di negeri ini. Pesawat Fokker-27 dengan nomor A-2703 milik TNI AU terjatuh di bandara Husein Sastranegara, Bandung. Sedianya korban terjun untuk keperluan kualifikasi. Seperti biasa, penjelasan atas kecelakaan pesawat sangat standar. Pesawat layak terbang. Pengecekan sudah dilakukan rutin. Karena itu, kecelakaan diduga akibat faktor cuaca buruk. Saat itu, Bandung sedang hujan deras.
Kalau benar karena faktor cuaca, nalarnya adalah begitu kejam alam Indonesia, sehingga amat murah menimpakan kecelakaan pada pesawat terbang. Mengapa alam negara tetangga, Singapura dan Malaysia, yang letak geografisnya kurang lebih sama lebih ramah? Mengapa di Singapura dan Malaysia yang serupa dengan kita jarang terjadi kecelakan pesawat? Sekali lagi, jangan hanya bisa menyalahkan alam! Sungguh, apologi seperti itu hanya bisa dikemukakan oleh orang-orang yang tak mau belajar dari pengalaman. Betapa tidak secara tak langsung tragedi jebolnya tanggul Situ Gintung yang terbangun sejak masa Belanda, apa juga akan dikatakan sebagai kesalahan alam?
Bukankah tragedi serupa sudah sering menimpa pesawat TNI AU. Coba kita tengok misalnya, 30 Desember 2007 pesawat patroli maritim jenis nomad P 833 jatuh di pantai Batee Daun, Sabang, NAD. Tiga orang tewas. Kemudian, 7 Januari 2008 Helikopter Twin Pack nomor HA 3406 produksi tahun 1958 jatuh di desa Lubuk Agung, Kec Gandar, Sikijang Mati. Kab Pelalawan, Riau dan 1 orang tewas. Pada 2 Februari 2008 Tank pendarat Amphibi Marinir BTR 50 P produksi tahun 1961 tenggelam di lepas Pantai Banongan, Kab Sitobondo dan 7 orang tewas. Tidak hanya itu, 26 Juni 2008 Pesawat Casa 212 produksi tahun 1978 jatuh di hutan Tegal Hilir, Ds Gunung Malang, Bogor, Jabar. Sebanyak 12 anggota TNI AU dan 6 warga sipil tewas. Disusul kemudian, 6 April 2009 pesawat Fokker 27 produk tahun 1976 jatuh dan meledak di pangkalan udara Husein Sastranegara, BAndung. (Kompas 8/4) Masih menyangkal!
Sama halnya tanggul Situ Gintung, Pesawat F-27 juga berumur cukup tua. Memang, kejadian tersebut dibarengi hujan deras dan sama bertempat di wilayah Jabar. Lantas logiskah jika dikaitkan uzurnya usia dan faktor cuaca alam, sebagai penyebabnya? Mengutip tulisan Marsekal Muda (purn) Djoko Poerwoko di harian Kompas 7 April, ia menyatakan ‘murni kecelakaan’. Mungkin bisa diterima.
Peralatan alutsista yang dimiliki TNI AU mungkin juga TNI AL dan TNI AD, kondisinya banyak yang memprihatinkan dan sudah selayaknya dipensiunkan. Sekitar 40 persen dari kekuatan awal yang bisa digunakan atau setara dengan 40 pesawat tempur, 50 pesawat angkut, 50 helikopter dan 100 pesawart latih (Djoko Poerwoko, 2009). Bahkan sebagian di antaranya sudah di atas 20 tahun seperti, jenis Hawk Mk-53. Pengajar teknik penerbangan di Institut Teknologi Bandung, Hari Muhammad menyatakan ‘pesawat F-27 sebaiknya tak dipakai lagi karena terlalu beresiko. Walau dilakukan aging (penambahan usia melalui perawatan yang baik), usia pemakaian pesawat jenis itu normalnya 15-20 tahun. Sedangkan pesawat F-27 buatan Belanda tahun 1975 itu, baru dimiliki TNI AU tahun 1976. Bayangkan!
Dalam sejarah penerbangan, kondisi alam seperti cuaca buruk tercatat relatif sedikit pengaruhnya terhadap keselamatan terbang. Juga, faktor teknis amat sedikit sebagai penyebab utama musibah yang menimpa penerbangan. Yang justru terjadi adalah human error (kesalahan manusia). Terlepas dari berbagi persepsi yang mengemuka, tragedi ini tak boleh terjadi kembali. Mendatang, jajaran TNI AU harus lebih baik dalam memberikan sarana dan layanan dalam tiap penerbangan. Dan kalau perlu TNI AU mengganti semua alutsista yang tak layak pakai.
Selain itu, otoritas penerbangan sipil dan militer harus jujur menjelaskan pada masyarakat apa sesungguhnya penyebab utama dari begitu mudahnya pesawat terbang sipil dan militer di Indonesia mengalami kecelakaan? Kalau prosedur dan keselamatan terbang sudah dijalankan, jika pengecekan teknis sudah dilakukan secara rutin, dan jam terbang pesawat masih dalam interval yang dimungkinkan, perlulah otoritas penerbangan mengotak-atik kemungkinna faktor manusianya.
Benar. Dalam kasus jatuhnya pesawat F-27 atau tergelincirnya MD-90 Lion di Bandara Soekarno Hatta dan Hang Nadim, cuaca memang sedang buruk. Tapi, bukankah ada petugas tower yang tugasnya menyampaikan informasi clear untuk landing? Kalau benar clear, mengapa pesawat masih celaka juga. Tak ada yang lain, faktor manusia menjadi penentu utama keamanan dan keselamatan bagi kehidupan kita di masa sekarang dan mendatang. Pada kemungkinan humam error itulah, harus kita akui. Jangan hanya asal semprot, seolah rentetan tragedi yang selama ini telah terjadi merupakan ‘mutlak kesalahan cuaca Alam.’ Sadarlah wahai semua!
(Komentar: Santoso Rukatam, Peneliti pada The Hasyim As’ari Institude Yogyakarta).
KORAN PAK OLES/EDISI 173/16-30 APRIL 2009
Thanks for reading Rentetan Tragedi, Salah Siapa?

« Previous
« Prev Post
Next »
Next Post »

0 komentar:

Posting Komentar