Home » » Sanggar Gong Murmas Tetap Eksis

Sanggar Gong Murmas Tetap Eksis

Oleh : Putu Sugih Arta*
Perjalanan seni tradisi di pulau Lombok bisa dibilang belum terkontaminasi budaya asing. Kemurniannya ditunjukkan dengan model lakon pentas yang masih ketat menjunjung pakem.
Seperti halnya, Sanggar Gong Murmas Desa Gondang Kabupaten Lombok Utara yang mempertunjukkan kebolehannya di gedung open stage Taman Budaya NTB, 4 April 2009 lalu.
Sanggar Gong Murmas yang mementaskan lakon Cupak Gurantang ini ternyata mempunyai keunikan sekeha/anggotanya yang rata-rata berumur lebih dari 60 tahunan. Namun, semangat pentas yang ditunjukkannya itu ternyata sempat mempesona ratusan penonton yang di antaranya beberapa tamu mancanegara.
Menurut penuturan Amaq Jamisah (75 thn) sanggar teater tradisi ini didirikan oleh Amaq Dawi dan Amaq Narsi (alm) sebelum penjajah Belanda masuk ke Lombok yakni sekitar tahun 1800an. Kemudian, pada zaman Jepang kerapkali dipesan untuk menghibur serdadu Kempetai yang baru turun istirahat akibat kelelahan ikut perang melawan Belanda di laut Jawa. “Sedangkan pada masa kemerdekaan, pengkaderan terus dilakukan untuk menghibur masyarakat yang melakukan syukuran. Hasil pengkaderan, belum sepenuhnya berhasil sehingga beberapa tokoh inti seperti putri Daha yang diperankan oleh Inaq Sidah, Gurantang oleh Amaq Hartadi dan Pengatur lakunya yang berusia sembilan puluh lima tahun merupakan sisa seniman-seniman pada zaman Jepang,” ujar Jamisah, yang sampai saat ini adalah Bendahara Sanggar Gong Murmas.
Cerita Cupak Gurantang yang berkiblat pada cerita panji zaman kerajaan Kediri (Jayabaya ) ini mengisahkan tentang Putri Daha yang cantik jelita diculik oleh Daitya, raksasa yang sangat ditakuti oleh golongan manusia. Dua orang menteri yang ditugaskan menjaga sang putri ternyata tak mampu berbuat banyak. Raksasa itu kebal oleh tusukan senjata mereka. Saking sayangnya, Raja Daha pada putrinya maka disayembarakanlah pada semua orang, dengan hadiah siapapun yang berhasil mengembalikan putrinya akan dihadiahi putri Daha dan diangkat menjadi putra mahkota.
Suatu hari datanglah Cupak dan Gurantang yang mengikuti sayembara itu. Mereka berhasil. Namun, sepulang mereka berdua, mereka berpikir tak mungkin keduanya akan menjadi pemenang. Maka Cupak yang menggunakan muslihat akhirnya menjerumuskan Gurantang. Tapi, akhir cerita perbuatan Cupak yang jahat akhirnya ketahuan. Cerita ditutup hapy ending antara Gurantang dan Putri Daha.
Penampilan kelompok seni bisa dikatakan datar saja, masih perlu menyesuaikan dengan panggung yang didesain secara modern. Buktinya, pentas mereka selalu mengabaikan bloking sehingga kesannya alergi dilihat penonton langsung.“Hal tak lepas dari umur mereka, secara rasional tentunya sudah pada lupa pada naskah, maka kesannya tidak menarik, harus secepatnya dikadernisasi,” ujar Rusmadi, S.Sn.
Sedangkan menurut budayawan Djalaludin Arzaki ( 70 thn) , pemerintah dalam hal ini Dinas kebudayaan dan Pariwisata hendaknya respon terhadap penyediaan fasilitas pentas berupa open stage di daerah asalnya yakni di Kecamatan Gondang. Mengingat wilayah Gondang yang memungkinkan, tepat berada di lereng Gunung Rinjani. Kenapa? Berkaitan dengan Visit Indonesia Year, Nusa Tenggara Barat bisa menjual destinasi budaya dan alam Gunung Rinjani sekaligus. Sebelum tamu mau mendaki gunung, disuguhi dulu kesenian tradisi berupa pentas Cupak Gurantang.“Kondisi ini kalau saya bandingkan dengan negeri Jepang yang pernah saya kunjungi. Sebelum naik puncak Fujiyama, banyak atraksi bisa kita nikmati. Sebagai tamu saya sangat puas tatkala itu,” lanjutnya sembari mengingat kejadian yang pernah dialaminya tempo hari.
*)Budayawan, tinggal di Mataram.KORAN PAK OLES/EDISI 173/16-30 APRIL 2009
Thanks for reading Sanggar Gong Murmas Tetap Eksis

« Previous
« Prev Post
Next »
Next Post »

0 komentar:

Posting Komentar