Home » » Pemilu Terburuk Dalam Sejarah Indonesia

Pemilu Terburuk Dalam Sejarah Indonesia

Oleh: Nurani Soyomukti
Pada September 1955 pemilihan umum digelar pertama kali di Indonesia. Semua pengamat politik mengakui, itulah pemilu yang paling demokratis sepanjang sejarah politik Indonesia. Partisipasi politik warga dalam pemilihan sangat besar, hampir 100%n. Partai-partai memegang keyakinan dan prinsip ideologis, dan tidak mempengaruhi suara dengan uang seperti pemilu jaman sekarang. Herbert Feith menjelaskan; “Hasil pemilihan itu sendiri... merupakan peristiwa yang sangat bermakna. Partisipasi seremonial bangsa, yang dilaksanakan dengan penuh martabat dan keseriusan. Pencoblosan dilakukan secara teratur dan bebas... Pilihan yang dibuat oleh pencoblos dari desa benar-benar sangat bermakna, bukan sebagai pilihan terhadap kinerja pemerintahan tertentu, tapi merupakan identifikasi kuasi-ideologis orang-orang desa” (Max Lane, 2007: 18).
Hal itu juga sekaligus mencerminkan keberadaan konstelasi politik baru di era itu. Pencarian bentuk demokrasi baru berkembang seiring dengan percaturan politik yang ditandai dengan berbagai bentuk artikulasi seperti pernyataan sikap, aksi massa, dan rapat-rapat akbar.
Sedangkan pemilu 2009 yang baru kita laksanakan pada 9 April lalu merupakan pemilu yang paling buruk di Indonesia. Banyak fakta yang memperkuat buruknya pelaksanaan pemilu 2009 ini. Pertama, partisipasi politik dan kesadaran politik. Kata kunci demokrasi adalah keterlibatan dan kesadaran. Jika rakyat banyak yang terlibat dalam proses politik, semakin semaraklah dunia politik. Tetapi banyaknya orang yang terlibat dalam momentum politik belum mampu menjelaskan kualitas demokrasi bila kesadarannya tidak dinilai.
Demokrasi yang maju terjadi jika dalam keterlibatannya rakyat memiliki kesadaran untuk mengubah kondisi yang medatangkan masalah bagi mereka. Rakyat terlibat dengan cita-cita dan pikiran untuk menciptakan capaian politik yang baik dan bukan semata-mata terlibat tetapi tidak memiliki penjelasan kenapa mereka terlibat. Banyaknya politik uang (money politics) yang menunjukkan bahwa kwsadaran para pemilih (voters) masih sangat rendah.
Kedua, penyelenggaraan Pemilu Legislatif 2009 ini terburuk sepanjang sejarah. Karena banyak kelemahan yang tidak bisa diatasi KPU, seperti masalah daftar pemilih tetap (DPT) dan sebagainya. Pemilu kali ini paling buruk karena rumit dan sulit akibat parpol peserta dan jumlah pemilih yang banyak, dan aturan yang berubah-ubah hingga menjelang pemilihan. Selain itu, tanda memilih dengan pencentangan juga jadi permasalahan karena baru pertama kali, dan sosialisasi juga kurang.
Kehadiran Ketua KPU dan jajarannya di tempat pemungutan suara (TPS) Cikeas, Bogor, Jawa Barat, di mana Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mencontreng, membawa kecurigaan tersendiri pemantau pemilu. Kehadiran tersebut dinilai semakin mempertegas tidak independennya KPU. KPU patut diduga tidak independen. Bahkan banyak TPS yang bermasalah justru tidak didatangi KPU. Tim Hukum dan Advokasi DPP PDIP yang diketuai oleh Dwi Ria Latifa telah menemukan lebih dari 200 pelanggaran di lapangan pada pemungutan suara 9 April lalu. Antara lain, di salah satu TPS di Cibubur, Jakarta Timur yang ditemukan hanya menggunakan kertas karton sebagai bilik suara. Dan tempat terjadinya kasus-kasus seperti ini tidak dikunjungi ketua KPU (Suara Karya, 11/04/2009).
Golput
Di lain pihak, golongan putih (golput) betul-betul terbukti merisaukan. Golput adalah pemenang sesungguhnya pada Pemilu Legislatif 2009. Golput terjadi karena memang mereka tidak terdaftar sebagai pemilih. Misalnya saja, di TPS VII Kampung Durian, Medan, Sumut. Dari 400-an yang tercantum di DPT hanya 223 yang menggunakan hak suaranya dan sisanya tidak memilih (Suara Karya, 11/04/2009). Di sisi lain, ucap dia, masalah DPT fiktif, ternyata bukan cerita bohong. Di hari pencentangan, dengan mudah DPT ganda ditemukan. Sebaliknya, yang harusnya punya hak suara, juga tak dapat memilih. Artinya, banyak warga yang di-golput-kan KPU.
Di sisi lainnya, golput juga terjadi karena apatisme rakyat terhadap pemilu sebagai momentum politik yang dianggap tak akan mempengaruhi nasib mereka. Ketidakpercayaan rakyat yang menderita dan tanpa pertanggungjawaban para elit nampaknya akan menjadi kalangan yang paling apatis terhadap proses politik. Pada akhirnya, elit juga menyadari bahwa rakyat juga kian malas untuk berpolitik karena politik dianggap tak ada kaitan dengan nasibnya. Apatisme dan keacuhan rakyat terhadap moment-moment politik tersebut tentunya akan merepotkan para elit yang menginginkan basa-basi ritualitas politik tiap lima tahun sekali—entah pemilihan umum tingkat nasional (pemilu) ataupun tingkat daerah (pilkadal). Kalau banyak rakyat tak memilih, tak akan ada legitimasi bagi proses pemilihan. Artinya tak ada legitimasi bagi proses berebut kekuasaan.
Ibaratnya rakyat sudah bosan dengan politik, mereka akan terus dilibatkan dengan berbagai cara dan upaya, agar rakyat berpartisipasi. Dan makna partisipasi, sayangnya, hanya berupa nyoblos ataupun berkerumun ketika ada kampanye dengan suguhan hiburan musik pop dan dangdut. Partisipasi politik di masa kampanye yang terjadi hanya karena ingin mendapatkan hiburan di depan panggung di mana artis terkenal didatangkan. Partisipasi hanya dengan mencoblos gambar partai atau calon presiden atau kepala daerah.
Kondisi itulah yang menyebabkan terjadinya politik biaya tinggi (high-cost politics): yaitu, ketika massa rakyat semakin apatis dan malas berpolitik, maka pada saat itulah para elit yang sedang berebut jabatan/kekuasaan harus mengeluarkan banyak biaya agar mereka mau ikut dalam proyek politik orang-orang elit. Jadi, biaya banyak dikeluarkan untuk membiayai mobilisasi dan partisipasi.
Mulai meningkatkan biaya iklan politik masing-masing partai politik dan pemasangan gambar (baliho, poster, kaos, bendera, dll), hingga ’serangan fajar’ dengan cara bagi-bagi uang agar rakyat memilih calon legeslatif, semuanya menunjukkan bahwa biaya politik pemilu 2009 ini sangatlah tinggi. Pada kenyataannya, yang tak bagi-bagi uang alias tak melakukan money politics kebanyakan kalah bertanding. Dalam situasi kesadaran politik Indonesia yang kosong, yang nampak banyaklah yang biasanya akan diikuti karena politik rakyat miskin yang (di)bodoh(i) adalah politik ”manut grubyuk”.
Dalam situasi semacam itu tentunya kita dapat menilai bagaimana proses demokrasi yang sedang berjalan. Demokrasi yang ada masih belum mampu menunjukkan kualitasnya yang maju karena partisipasi rakyat masih minimal dan kalau adapun masih bersifat semu. Kesadaran politik berada dalam tingkat yang rendah. Pada saat yang sama, uang masih menjadi alat politik yang nampaknya masih dijadikan andalan bagi tiap-tiap calon. Visi, misi, dan program maupun kredibilitas tidak menjadi ukuran yang penting. Ini masih akan membahayakan wajah demokrasi kita ke depan.
Pendidik dan direktur “Sekolah Litera” Global Education Center (GEC) Trenggalek, Jawa Timur.
KORAN PAK OLES/EDISI 173/16-30 APRIL 2009
Thanks for reading Pemilu Terburuk Dalam Sejarah Indonesia

« Previous
« Prev Post
Next »
Next Post »

0 komentar:

Posting Komentar