Home » » Yogya Di Tengah Imperialisme Kebudayaan

Yogya Di Tengah Imperialisme Kebudayaan

Oleh: Ach. Basyir*
Dalam konteks kebudayaan Jawa, yang berkiblat pada induk kebudayaan kerajaan Mataram, kemudian diwariskan kepada kesultanan Yogyakarta dan kesunanan Surakarta, tidak bisa dipungkiri bahwa Yogyakarta merupakan lokus dan pusat tumbuh kembangnya mainstream kebudayaan tersebut. Hingga detik ini Yogyakarta masih dipandang sebagai “referensi” dan pelestari tradisi Jawa era Mataram. Maka tidak salah kalau Mataram sering dilekatkan pada lambang Yogyakarta.
Yogyakarta -dan tentu saja juga Surakarta- sebagaimana kata Damarjati Supajar merupakan ibukota atau titik poros kebudayaan Jawa dan juga kebudayaan nasional. Dalam posisi ini Yogakarta, pada level kebudayaan-politik merupakan salah satu sokoguru eksistensi negara Indonesia. Nilai-nilai budaya Jawa yang terjaga dalam tradisi Yogyakarta turut membentuk kebudayaan Nusantara. Unsur kebudayaan itu misalnya gotong-royong dan sebagainya. Dunia telah mengakui bahwa Yogyakarta menjadi salah satu kota budaya tua yang melahirkan inovasi-inovasi dari generasi ke generasi.
Sebelum NKRI berkumandang namanya, Yogyakarta yang dinisbatkan kepada Mataram, sudah lebih dulu unjuk nama dalam peta peradaban dunia. Hal itulah yang membuat historis Yogyakarta menjadi nilai lebih dalam percaturan politik nasional, bargaining ekonomi maupun harmoni kebudayaan.
Jelas, Yogyakarta memiliki jejak sejarah yang erat dengan kebudayaan-politik nasional. Dalam konteks kebudayaan nasional, Yogyakarta merupakan lahan yang produktif bagi berkembangnya budaya-budaya nasional. Di samping tradisi di kota gudeg ini sangat terjaga ketat, kosmopolitanisme Yogya menyediakan ruang yang sehat dan bebas sebagai tempat bertemunya masyarakat lintas daerah, lintas budaya, lintas agama dan bahkan lintas negara.
Meskipun lahir di bawah bayang-bayang kuasa kompeni dan juga pernah menjadi daerah yang dijajah oleh rezim Hindia Belanda, Yogyakarta tak pernah sepenuhnya dipersamakan dengan wilayah-wilayah jajahan lainnya. Hal ini karena, seperti kata Herry Mardiyanto (1997) Yogyakarta berada di bawah otoritas keraton Ngajogjakarta Hadiningrat. Saat kemerdekaan Republik Indonesia diproklamasikan 17 Agustus 1945, maka pilihan terbuka untuk menentukan beberapa opsi; pertama, menyatakan sendiri kemerdekaannya, kedua menunggu kembalinya kekuatan Belanda untuk memulihkan hegemoninya atas tanah Jawa, ketiga menjadi bagian sepenuhnya dalam pembentukan Republik baru.
Ada penanda yang mulai muncul ketika pada tanggal 18 Agustus 1945 Sri Sultan Hamangku Buwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII memberikan ucapan selamat kepada Bung Karno, Bung Hatta, dan Rajiman atas Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Kemudian pada tanggal 20 Agustus 1945, kedua pemimpin Yogyakarta tersebut mengirimkan telegram ucapan selamat kepada Bung Karno dan Bung Hatta yang terpilih sebagai presiden dan wakil peresiden RI serta menyatakan bahwa Daerah Kesultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman menjadi bagian wilayah NKRI, serta bergabung menjadi satuan yaitu Yogyakarta. Hal itu tertuang dalam Amanat Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VII tertanggal 30 September 1945, yang dibuat bersama dalam satu naskah.
Dari sinilah tercetus lahirnya Daerah Istimewa Yogyakarta yang bersetatus provinsi (1950). Hal ini sebagai konsekuensi dan garansi politis terhadap integrasi Yogyakarta ke dalam wadah Indonesia. Identitas keistimewaan itu merupakan penghargaan karena peranan penting Yogyakarta dalam revolusi kemerdekaan. Karena alasan-alasan keamanan ibu kota Jakarta yang dianggap tidak stabil, maka sejak 4 Januari 1946, Yogyakarta pernah dipilih menjadi ibu kota negara.
Eksotisme tradisi budaya Yogya
Secara politik, keistimewaan Yogyakarta diperoleh dari pergulatan meletihkan dalam menopang berdirinya negara bangsa (nation-state) bernama Indonesia. Dan masalah ini telah menjadi polemik panjang karena ada ancaman penghapusan terhadap status tersebut.
Namun pada level kultural, ada nilai penting lain yang juga harus dipertahankan yakni eksotisme kebudayaan Yogya. Sebab, persoalan yang sering memancing polemik adalah ketika status keistemewaan politik Yogya terusik. Namun ketika keistimewaan kebudayaan Yogya mengalami gempuran dan “pemusnahan massal” oleh budaya-budaya asing jarang sekali terdengar ribut-ribut, polemik atau apalagi demonstrasi besar-besaran. Selama ini yang dibela habis-habisan, terkait dengan status keistemewaan Yogya, hanyalah pada level politik. Untuk level kebudayaan, belum ada usaha yang serius dan massif dari masyarakat maupun pemerintah untuk mengadvokasi nilai-nilai budaya dan tradisi Yogya.
Padahal dimensi kebudayaan adalah roh sekaligus identitas Yogya, yang membuat Yogya bisa terus dinamis, harmonis dan sinergis. Karena dikenal sebagai kota seniman, kota budaya, Yogyakarta melahirkan produk-produk budaya yang adiluhung baik bagi anak-anak Indonesia ataupun masyarakat dunia. Tari, wayang, batik, dan karya-karya seni lainnya yang bergaya Yogyakarta yang terus tumbuh subur adalah faktor fundamental yang membuat Yogya terus tumbuh, dikenal dan dikagumi oleh masyarakat internasional.
Segala tradisi dan budaya terbukti telah menjadi ikon dan sekaligus simbol yang membuat Yogya akan terus dikenang dalam ingatan sejarah dunia. Tanpa simbol-simbol tradisi dan budaya yang eksotik itu sudah bisa dipastikan Yogya akan tergilas dari perederan sejarah dunia dan dilupakan oleh orang. Sudaryono (2008), mengingatkan bahwa kota Yogyakarta telah mengalami degradasi sebagai suatu lintasan kolektif memori. Cepatnya perubahan kota telah menghilangkan beberapa elemen dasar yang sempat terekam sebagai memori tak terlupakan, keterhilangan memori ini menumbuhkan rasa keterasingan terhadap kota. Pembangunan hendaknya diarahkan keluar kota dengan tetap mempertahankan simbol yang menjadi kekuatan kota. Sebelum terlambat, di kota Yogyakarta harus ada semacam identitas kota yang perlu dilestarikan agar semuanya tidak bertekuk lutut dengan gagasan industrialisme yang meracuni seluruh dimensi kehidupan untuk menghamba kepada materi dan kekayaan modal.
Mengingat begitu vitalnya eksistensi tradisi dan budaya Yogya, maka sudah saatnya sekarang seluruh masyarakat Yogya dalam berbagai segmen, mempunyai kepedulian untuk menjaga dan mempertahankan nilia-nilai tradisi Yogya yang menjadi identitas Yogya namun sekarang terus mengalami degradasi. Sebab, tanpa nilai-nilai budaya itu, Yogya akan tenggelam ditelan derasnya perubahan dunia.
*)Peneliti Kebudayaan pada Lembaga Kajian Kutub Yogyakarta (LKKY).
KORAN PAK OLES/EDISI 174/1-15 MEI 2009
Thanks for reading Yogya Di Tengah Imperialisme Kebudayaan

« Previous
« Prev Post
Next »
Next Post »

0 komentar:

Posting Komentar