Home » » Kemiskinan Mental

Kemiskinan Mental

Kemiskinan itu mengerikan, dan bahkan sangat mengerikan. Hidup serba kekurangan; kurang makan, kurang sehat, kurang pendidikan, kurang uang, kurang tempat, kurang perhatian, kurang cinta kasih dan kurang peduli. Pernahkah anda melihat kemiskinan seperti itu?
Mungkin tidak pernah karena anda terlalu kaya dan tidak mau peduli dengan kemiskinan. Juga mungkin anda terlalu sering melihat orang miskin sehingga anda menjadi terbiasa dan mati rasa, tidak bisa membedakan lagi, mana orang yang terkategori miskin dalam kemiskinan, dan mana orang yang tergolong kaya dalam kekayaan tetapi terjerembab dalam lembah kemiskinan. Jadi bukan soal penampilan semata, tetapi lebih pada masalah mental.
Walaupun penampilan kaya, tetapi jika mental masih akrab dengan miskin, sebenarnya mereka masih orang miskin. Secara inderawi memang sangat susah untuk dibedakan, namun mengaca pada praktek harian jelas mudah untuk diketahui. Orang yang bermental miskin, hidupnya boros, suka minta bantuan dan mudah melupakan, malas, judi, mabuk, selingkuh, korupsi, menyalahgunakan jabatan, membocorkan soal ujian, mencuri suara, premanisme, nombok, memalsu nilai, memalsu data dan lain-lain.
Jika kemiskinan itu sudah tersemai dan terkandung apik dalam bilik-bilik mental yang way of life, maka mental itulah yang harus disembuhkan. Meksi secara intelektual berpendidikan tinggi dan sumber daya alam berlimpah. Jika masih terus mengeram dalam sarang-sarang kemiskinan, baik itu secara individu maupun berkelompok, jelas buah kemiskinan itu adalah miskin.
Dari mana datangnya mental miskin? Dari kebiasaan dan sikap hidup yang berkepanjangan dan turun-menurun. Muaranya, mental miskin itu tersemai dalam darah, mengalir ke seluruh tubuh sampai ke tulang sumsum. Lalu kembali menyeruak di dalam dan bersatu dengan adat istiadat serta budaya. Kalau sudah begini, maka menghapus mental miskin memang sulit, jika tidak diikuti dengan usaha tekun.
Cara termudah untuk mengubah kemiskinan menjadi kekayaan adalah dengan menerima warisan dari orang kaya. Prakteknya, kawin dengan orang kaya, janda kaya, duda kaya, secara sah atau tidak sah, termasuk di-monogami atau di-poligami. Singkatnya, yang penting bisa mengikat harta alias morotin secara halus. Jika pakai cara yang agak lebih kasar, dengan menjadi perek, lonte atau gigolo. Mungkin awalnya main-main atau amatiran, tapi secara perlahan dapat menjadi pemain profesional.
Dalam potret sehari-hari, banyak kita merekam keluhan bahwa sekolah mahal dan politik jauh lebih mahal. Jika terus-terus dipupuk, justru cenderung menghasilkan individu bermental miskin.
Sekolah mahal menghasilkan individu yang materialis, yang selalu fokus pada output materi, menejemen USA (Untung Saya Apa), tidak peduli dengan masalah sosial dan lingkungan, memiliki budaya instan (ingin cepat berhasil) dan fragmatis (berpikir pendek untuk dapat untung). Sekolah mahal memang bagus kalau tidak matrek (mata duitan). Arti mahal dengan matrek sangat jauh berbeda. Sekolah mahal karena kualitas yang bagus, tentu orang tua atau murid akan membeli dengan suka hati. Sekolah matrek akan selalu menciptakan peluang untuk menarik uang dari para murid dengan dalil kualitas. Misalnya, uang gedung atau uang sumbangan pembangunan. Uang-uang itu sebenarnya bukan berasal dari orang tua murid tetapi seharusnya dari investor pendidikan. Lantas apa hasil dari sekolah matrek, kecuali lulusan-lulusan matrek alias individu bermental miskin.
Lihat saja perjalanan demokrasi bangsa kita melalui Pemilu Legislatif (Pileg) 2009. Banyak caleg stres bukan karena gagal atau kalah berkompetisi, tetapi lebih banyak karena tertimbun hutang dan dikibuli tim sukses atau calo suara. Politik itu soal investasi jangka panjang dan bahkan sangat panjang, yang hasilnya juga mungkin kita raih dalam beberapa generasi. Jika pola pikir miskin ingin berinvestasi politik inilah yang sangat disayangkan karena investasi itu tidak akan berbalik dalam bentuk rupiah ke individu calaon legislatif (caleg), tapi kembali ke masyarakat dalam bentuk kesejahteraan.
Jika hal ini tidak dimengerti, maka jangan menyalahkan banyak caleg stress yang bertumbangan, banyak praktek jual beli suara muncul, bahkan anggota legislatif yang dihasilkan lebih berjiwa besar dalam hal kematrekan. Jangan juga salahkan jika mereka bermental matrek karena yang namanya produk jual beli itu bertepi pada untung atau rugi. Potret berinvestasi politik demikian itulah, yang harus segera diperbaiki dan diobati sehingga virus-virus kemiskinan mental tidak terus menyebar secara periodis.
Tujuan utama mendirikan rumah sakit adalah utamanya untuk (melayani) menyembuhkan orang sakit. Dalam bidang penyembuhan, kata sembuh adalah nomor satu, kata untung dan duit nomor dua atau nomor tiga. Jika tujuan untung dan duit nomor satu, maka tujuan pendirian rumah sakit tidak jauh berbeda dengan mendirikan sebuah industri yang berujung pada praktek eksploitasi orang sakit. Janganlah disalahkan, jika di negara-negara miskin, yang lemah jaminan sosialnya termasuk di Indonesia, orang miskin dilarang sakit.
Dari mana kita perbaiki kemiskinan mental ini? Ibarat darah, jika sudah dimiskin, maka darah itu harus dicuci sampai bersih. Sikap hidup berlimpah, mental kerja keras, kreativitas dan kejujuran harus ditumbuhkan. Budaya malu dan budaya takut harus ditumbuhkan dari dalam diri, yang akhirnya menyebar ke masyarakat, yaitu malu dan takut malas, malu dan takut matrek, malu dan takut cengeng, malu dan takut diri tidak berharga, dan lain-lain. Karena itu, mari kita memerangi penyakit mental miskin ini sekarang juga dengan menumbuhkan budaya malu dan budaya takut yang positif.
KORAN PAK OLES/EDISI 174/1-15 MEI 2009
Thanks for reading Kemiskinan Mental

« Previous
« Prev Post
Next »
Next Post »

1 komentar:

  1. orang kaya tuh ada karena bantuan orang miskin orang miskin itu enak karena dapat subsidi dari orang kaya,kalau orang semua kaya g ada gunanya (mau diapakan uangnya kekayaanya) maka sebaliknya klo semua orang miskin jg g ada gunanya trus masalahnya apa?????? hehehe

    BalasHapus