Home » » Bertemu Guru

Bertemu Guru

SOKSIOLOGI

Ada orang bilang bahwa berpikir itu gampang, ada juga yang bilang susah. Dengan diam saja, bahkan tanpa aktivitas, bengong, tidur mendengkur, atau dalam keadaan koma sekalipun proses berpikir jalan terus tanpa berhenti. Pikiran melompat-lompat kesana kemari, ke segala bidang kehidupan, ke segala dimensi waktu dan ruang dengan segala rasa kesal, gembira, sedih, marah, benci dan menyesal, sesuai dengan harapan, cita-cita, keinginan dan ketidak-inginan. Kalau dengan diam saja proses berpikir itu sudah bisa berjalan secara otomatis, kenapa bisa dibilang susah? Bahkan ada ilmunya lagi. Memang dunia ini lagi gendeng. Berpikir saja kok repot!

“Stop…! Jangan sewot dulu. Mengapa berpikir saja kok repot? Justru karena berpikirlah kita bisa repot atau tidak repot, tergantung bagaimana cara mengelola pikiran itu”.

“Apa itu yang dimaksud dengan menejemen pikiran?”

“Ya…. Brainware management.

Aku manggut-manggut sambil berusaha mengerti. Memang kalau kita memakai bahasa asing terasa lebih cepat mengertinya, atau kepala menjadi semakin mumet sampai akhirnya mau mengerti secara tidak sadar, karena malu untuk tidak mengerti, atau pura-pura mengerti biar keren. Tapi tak apalah, yang penting aku tampil sebagai orang yang mengerti. Aku mencoba untuk tidak berpikir, ternyata susah. Aku mencoba untuk berpikir, ternyata lebih susah lagi, karena keinginanku lebih banyak dari kemampuanku, karena hidupku yang ada saat ini bisa melompat secepat kilat ke masa lalu, masa sekarang dan masa yang akan datang. Aku sibuk dengan pikiranku sendiri. Badanku kurus karena energiku habis untuk berpikir. Karena takut gila atau mati stres, aku menemui guru sufi, ahli pikir.

“Guru, aku mohon petunjuk”.

“Badanmu sehat, pikiranmu kacau.”

“Kok guru tahu, bukankah pikiran tidak bisa dilihat, apalagi dibaca.”

“Aku bisa merasakan dari penampilanmu yang kucel.”

Aku menyanggah dengan seribu alasan, bahwa tebakannya salah. Rasa egoku meningkat. Aku marah, jengkel dan dongkol. Aku ingin mengamuk, tapi aku ragu. Aku mencoba menenangkan diri. Bukankah tujuanku ke sini untuk mengobati pikiranku yang sakit.

“Bagus..! Minum ramuan ini satu gelas. Kamu pasti mencret dan merasa lega.”

Tak kuasa aku menatap matanya yang tajam. Aku menurut saja minum ramuannya sekali teguk sambil merem. Rasa pahit, asem, manis, asin, pedas, pekat, bercampur menjadi satu. Keringat dingin mengucur. Perut langsung mules dalam dua menit.

“Cepat kamu lari ke kali. Buang segala racun di dalam perutmu.”

Daripada malu berak di celana, aku ngacir ke kali, merendam perut sambil kuras usus. Dalam waktu satu jam, segala kentut busuk, tahi hitam, hijau, kuning dan lender merah-putih keluar porak-poranda. Baunya menyengat seperti biogas. Setelah mandi dan keramas, badan terasa ringan, tapi perut keroncongan.

“Mengelola pikiran yang baik dan terarah adalah kunci keberhasilan dalam kehidupan. Barang siapa yang tidak bisa mengelola pikirannya sendiri dan mengarahkan pikirannya ke satu tujuan, maka dia akan diombang-ambingkan dengan pikirannya. Dia akan sibuk, bingung dan ragu-ragu, marah, sedih, benci dan rindu bercampur jadi satu, seperti rujak cingur dicampur fuyunghai”.

“Bagaimana caranya?” tanyaku melunak sambil menelan ludah. Kerongkongan terasa kering.

“Bekerja fokus dan tenang, sabar dan rendah hati. Kedengarannya mudah tapi susah dilaksanakan. Semua orang memiliki penyakit sama, Cuma kadarnya berbeda. Penyakit kamu sudah kronis. Sekarang minum ramuan yang kedua, yang bisa merontokkan seluruh bulu yang ada di tubuhmu. Dari rambut, bulu pantat, bulu ketek, bulu anu, bulu hidung, bulu mata, alis dan bulu tetek bengek lainnya rontok semua. Karena bibit penyakitmu tumbuh dari bulu, maka bulumu harus dirontokkan semua. Kamu terlahir nanti sebagai bayi ulat tanpa bulu. Penyakit dan dosamu dicuci. selanjutnya kamu bisa hidup atau mati, tergantung kamu”.

Enam orang pengawal gundul berwajah serem mendongkel mulutku dengan baja. Lidahku ditarik, hidungku dipencet. Ramuan kedua Guru Sufi digelontorkan ke mulutku berteguk-teguk. Rasanya pahit tidak karuan. Baunya mirip bau tinjaku.

“Benar, kamu telah minum tinjamu sendiri. Itulah ramuan yang kedua yang terkenal mustajab.

Perutku membuncit seperti kecebong, terasa mulas dan melilit. Aku muntah terkapar. Badanku menggigil panas dingin. Dalam hitungan menit seluruh buluku rontok. Aku tergolek telanjang bulat seperti bayi klimis raksasa. Dengan sekuat tenaga aku mencoba berdiri. Sambil menutup anuku dengan kedua telapak tanganku aku berlari sekuat tenaga. Tanpa menoleh kanan-kiri aku masuk ke toko mencuri baju. Semua orang menertawaiku saat aku keluar dari toko, karena aku memakai rok mini dengan belahan di depan. Aku terlihat seperti bencong selebor. Anuku kelihatan setengah. Ujungnya merunduk ketakutan. Kelihatan bloon tanpa bulu. Aku berlari lagi dengan tersengal-sengal. Keringat dingin mengucur deras. Lidahku kelu berteriak. “Tolong…., To….Long….To…Lon…Tong…Tolong… Lontongku too long……. Oh… My good ..!”

Badanku digoyang-goyang dan ditepuk-tepuk. Aku tersadar dari mimpi buruk.

“Bapak…bapak…!, bangun pak..! Bapak mengigau dari tadi. Bapak terlalu capek dan kerja berat, banyak pikiran dan stres. Jangan terlalu tegang, nanti bapak sakit. Badan Bapak panas.”

“Untung aku masih hidup Bu. Aku mimpi buruk”.

“Bapak kurang doa, sih ! Kurang dzikir, kurang merenung dan kurang bersyukur.

“Maaf Bu..!”

“Minta maaf kepada Tuhan, bukan kepada Ibu”.

Setelah mandi dan minum obat demam, untuk pertama kalinya aku berdoa khusyuk, sampai menangis. Aku mohon maaf dan minta petunjuk dari Yang Kuasa, karena lupa dan takabur. Malam itu aku tertidur mendengkur keras. Dalam mimpi aku bertemu Guru Sufi itu lagi. Dia duduk di atas kursi tinggi sambil menaikkan kaki. Dia tersenyum ngeledek sambil mengernyitkan dahi dengan gayanya yang khas. Jari telunjuk dan jari tengahnya menunjuk hidungku. Sambil berteriak dia berkata: “Puas…Puas….Puas…!

Aku terhenyak dari tidur. Terdengar sayup suara tertawa cekikikan di ruang tengah. Aku berjingkat mengintip menyibak korden. Terlihat Ibu sendiri menonton acara Empat Matanya Mas Tukul Arwana. Aku memeluk pinggangnya dari belakang.

“Bu… Aku puas….Aku puas…Aku puas….!

“ Kalau tidur ngorok sih puas….!”

“Nggak maksudku yang itu lho..! Bapak mau minta jatah malam ini”.

“Lho…Bapak lagi sakit, kok ngamuk….?” KPO/EDISI 134/2007

Thanks for reading Bertemu Guru

« Previous
« Prev Post
Next »
Next Post »

0 komentar:

Posting Komentar