Home » » Bersama Sutan Takdir Alisjahbana Di Toya Bungkah

Bersama Sutan Takdir Alisjahbana Di Toya Bungkah

Mutiara
(Mengenang 100 Tahun STA, 11 Februari 1908-11 Februari 2008)
Oleh: Gede Ngurah Wididana (Pak Oles)
Toya Bungkah. Itulah nama sebuah desa terpencil di Bali, yang terletak di kaki Gunung Batur. Dulu, desa terkategori terisolir, meski menawarkan panorama alam nan eksotik karena berada di tepi danau Batur. Untuk mencapai desa itu, kita harus turun tebing dan mengitari hamparan batu lahar yang mengeras. Di sela-sela batu lahar terperangkap pasir dan debu gunung yang bisa menumbuhkan rumput liar dan semak-semak belukar. Pada musim hujan, semak belukar jadi warna hijau dan sebaliknya bisa menjadi kuning kecoklatan kala musim kemarau tiba.
Sekitar 10 kilo meter berjalan kaki, sampailah kita di sebuah kolam mata air panas, yang dikenal dengan nama Toya Bungkah. Toya Bungkah berarti mata air yang sedang merekah dari balik hamparan batu. Dari Toya Bungkah terlihat ada kehidupan masyarakat. Di sana, ada hamparan tanah pasir berdebu, tapi subur untuk ditanami sayur bila musim hujan. Pun ada hamparan bukit landai yang mengitari danau. Pemandangan alam memang sangat indah. Kita bisa menikmati keindahan alam dari berbagai sudut pandang, baik dari atas bukit, dari danau, dari batu karang atau sambil beredam di dalam kolam air panas.
Pada tahun 1970-an, Sutan Takdir Alisjahbana (STA) jatuh cinta akan keindahan alam Toya Bungkah. Dari atas tebing kaldera Kintamani, Bangli, STA pertama kali melihat desa Toya Bungkah sebagai kumpulan noktah-noktah merah berkilau nun jauh di bawah. Ya, di kaki Gunung Batur yang berada di bibir sebuah danau.
Kepada stafnya, STA mengatakan, di sana kita mengembangkan laboratorium seni masa depan. Dan, betul, STA serius mengembangkan Pusat Seni Masa Depan Toya Bungkah. Dengan segala kreativitasnya, STA melatih generasi muda di desa untuk berkarya dan berkesenian. Pemuda dan pemudi desa dibuka wawasannya untuk mengembangkan pertanian dan pedesaan.
Kepada generasi muda, STA membuka lahan untuk dijadikan model pertanian terpadu sebagai percontohan. Perpustakaan mini dibuka untuk masyarakat desa. Bibit-bibit bunga dan sayuran lokal maupun impor dibagi-bagikan, dan dikembangkan masyarakat. Bakat-bakat seni pemuda desa dipupuk dan dibina. Khusus pada malam hari mereka dilatih berkreativitas seni tari dan gamelan Bali. Semua dikerjakan tanpa kenal lelah. Setiap hari.
STA selalu menjamu tamunya baik dari dalam maupun luar negeri di Toya Bungkah. Dalam sebuah forum pertemuan ilmuwan dan budayawan lokal dan nasional, STA dengan bangga memperkenalkan Toya Bungkah sebagai Pusat Seni Masa Depan. Dalam waktu 10 tahun, nama Toya Bungkah menjadi sangat terkenal. Sejak itu, desa Toya Bungkah menjadi daerah tujuan wisata. Jalan tebing berbatu diperlebar dan diaspal oleh pemerintah daerah setempat.
Pada suatu hari di bulan Agustus 1985, saya sempat berkenalan dengan STA di Toya Bungkah. Saya diajak berkeliling melihat laboratorium seni masa depan yang sudah dirintis dan dikembangkan STA. Saya diperkenalkan dengan budayawan dan seniman yang hadir pada sebuah pertemuan budayawan dari berbagai negara. Saat itu, saya baru saja tamat sarjana pertanian dari Universitas Udayana, dan tentu sangat miskin pengalaman dan berwawasan sempit.
Dalam diskusi saya dengan STA selama seminggu, saya memutuskan untuk berkarya di Toya Bungkah sebagai petani. Ya, untuk mengembangkan dan memajukan masyarakat pertanian di desa sekaligus juga menerapkan ilmu yang saya pelajari di bangku kuliah. Saya tinggal di sebuah rumah petak dengan dua kamar 2 X 3 meter. Bangunan itu saya susun sendiri dari tumpukan batu lahar yang direkat pasir dan semen. Rumah beratap seng tanpa plafon dan berlantai semen.
Di bagian depan rumah dibuat beranda terbuka sebagai ruang santai dan ruang tamu. Di belakang, dibuat beranda tertutup gedek merangkap dapur dan kamar mandi. Rumah itu tanpa air kran dan listrik. Tapi bukan rumah itu saja. Seluruh rumah penduduk desa bernasib sama karena Toya Bungkah termasuk desa primitif. Rumah itu tampak mewah di antara gubuk-gubuk petani.
Untuk air minum kami mengambil dari bukit Kintamani karena air Toya Bungkah terasa asin. Untuk air mandi dan toilet diambil dari danau Batur memakai ember. Di rumah tua itu saya mulai hidup baru; menikah dengan istri tercinta. Saya sadar bahwa hidup sebagai petani, sebuah pekerjaan yang sangat menantang, penuh resiko dan harapan, dan itu harus dimulai.
Setiap pagi sampai sore, saya bertani di ladang untuk menanam sayur dan bawang. Setiap malam, saya dan istri berkreativitas seni di Pusat Seni Masa Depan Toya Bungkah. Istri saya, seorang lulusan sekolah seni dan memang memiliki bakat menari tarian Bali. Dan saya, orang yang memiliki bakat menikmati dan mengomentari tari Bali. Jadi kloplah sudah antara pelaku dan penikmat dalam sebuah kreativitas seni.
STA menghabiskan rutinitas hidupnya selama 20 hari di Jakarta dan 10 hari di Toya Bungkah. Saat di Toya Bungkah, saya selalu meluangkan waktu untuk bisa mendengarkan pandangan dan wawasan STA, baik secara langsung maupun tidak. Secara langsung, saya bisa berdebat, bertanya dan berdiskusi seolah tidak berjarak, karena pada saat itu saya tidak tahu STA adalah orang besar. Secara tidak langsung, saya mendengarkan diskusi dan ceramah beliau dari balik dinding ruang pertemuan. Setahun penuh, saya hidup sebagai petani di Toya Bungkah itu.
Dalam suatu diskusi, saya merasa tertantang untuk bekerja di Jakarta, mengurus kebun STA di Bogor. Tentu, peluang itu saya ambil, meski tanpa rencana matang. Hanya dengan modal semangat dan tekad, akhirnya saya terdampar di Jakarta. Di sana baru mata saya terbuka, bahwa STA adalah orang besar, yang memiliki pandangan, pengalaman, pergaulan dan power yang sangat kuat. STA adalah rektor sekaligus Ketua Yayasan Universitas Nasional.
Semangat saya bertambah besar untuk berguru dan belajar. Saya bekerja sebagai Kepala Kebun Percobaan Fakultas Pertanian dan Biologi Universitas Nasional di Gunung Putri, Bogor. Sebuah pekerjaan yang sangat saya sukai, karena bisa di kebun setiap saat, tidak terikat waktu seperti orang lain di kantor. Di sana, saya bisa melakukan percobaan dan mengembangkan hobi bercocok tanam.
Atas rekomendasi STA, saya diterima di University of The Ryukyus, Okinawa, Jepang untuk belajar bahasa dan budaya Jepang. Karena minat saya pada ilmu pertanian sangat tinggi, saya rajin berkunjung ke laboratorium-laboratorium fakultas pertanian di universitas itu. Akhirnya saya bisa berkenalan dengan Prof Higa, penemu teknologi EM (Effective Microorganisms) dan diterima sebagai murid pertama dari Indonesia.
Perjalanan hidup memang terus bergulir seperti air mengalir. Setelah kembali dari Jepang, pertemuan saya dengan STA kian intensif. Saya mulai belajar menulis dan lebih banyak membaca. Demikian juga belajar bahasa dan hidup bermasyarakat. Saya bekerja sebagai dosen di Fakultas Pertanian Universitas Nasional selama 5 tahun kemudian. Selanjutnya saya berhenti sebagai dosen untuk mendirikan perusahaan dan yayasan yang bergerak dalam bidang pengembangan pertanian dan pedesaan.
Di saat-saat akhir hidup STA, saya dan istri menjenguk beliau yang dirawat di sebuah rumah sakit di Jakarta. Dia sudah lupa dengan segala hal, kecuali satu: Toya Bungkah. Di saat meninggalnya, ribuan orang muridnya mengiringi kepergiannya, untuk bersemayam di pemakaman dekat sebuah vila miliknya di Puncak, Jawa Barat.
Semangat hidup STA sangat membekas dalam hati saya, seperti yang ditulis dalam sajaknya; Dalam Lingkungan Keabadian di Toya Bungkah.
Kembangkan sayap, kekar dan lebar
Dan terbanglah, terbanglah,
Terus lurus membumbung tinggi
melampaui gunung memecah mega,
Menjelajah sawang lapang terbentang,
Tempat bintang berkelipan bertanya-tanya
Dan bulan tersenyum ria,
Merenungkan rahasia kegaiban segala
...Jangan tanggung jangan kepalang,
Hidup di dunia hanya sekali.

Sajaknya sangat menginspirasi saya untuk bekerja tidak tanggung dan tidak kepalang. Karena hidup di dunia hanya sekali. Hanya sekali. Setelah itu mati...! Selamat jalan STA. Sampai jumpa...!
(Keterangan foto: Foto kenangan istriku Komang Dyahstuti bersama Sutan Takdir Alisjahbana di Bali)
Thanks for reading Bersama Sutan Takdir Alisjahbana Di Toya Bungkah

« Previous
« Prev Post
Next »
Next Post »

0 komentar:

Posting Komentar