Home » » Keniscayaan Mendialogkan Kelainan

Keniscayaan Mendialogkan Kelainan

OLEH: Muh Kholid AS
Aktivis Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM), tinggal di Surabaya.

Sebagai sebuah negara yang ditakdirkan sebagai tempat bertemunya berbagai agama, Indonesia setiap tahunnya selalu merayakan hari keagamaan umat berbeda dalam waktu yang berdekatan, bahkan sangat mungkin bersamaan. Dalam bulan Maret 2008 ini misalnya, terdapat tiga umat agama berbeda yang merayakan hari besar keagamaannya. Pada tanggal 7, umat Hindu merayakan Hari Raya Nyepi Saka 1930. 13 hari kemudian, 20 Maret, umat Islam merayakan Hari Maulid Nabi Muhammad SAW 1429 H, disusul oleh umat Kristiani merayakan wafatnya Isa al-Masih 1 hari kemudian
“Pertemuan” berbagai perayaan keagamaan umat berbeda itu tentu tidak mempunyai makna apa-apa, jika hanya dirayakan secara seremonial belaka. Namun, jika dihayati sebagai upaya pembangunan keberagamaan yang damai antaragama, maka pertemuan itu akan sangat penting sebagai pangkal pencerahan nurani dan akal pikiran menuju kematangan cara beragama yang menghargai "kelainan" (the otherness). Pertemuan itu justru menjadi langkah awal dalam mewujudkan kesejatian dialog antarumat beragama, yang tentunya diharapkan mampu membuang kecurigaan antara penganut agama yang satu dengan lainnya.
Dalam kehidupan di Indonesia, dialog antaragama merupakan kerja yang tidak bisa ditawar lagi. Sebab, hubungan antar agama di negeri ini dalam faktanya belum sepenuhnya terlepas dari konflik, meski sifatnya sebatas autistik. Berbeda dengan konflik realistik yang sudah menggunakan cara-cara kekerasan secara face to face pada masing-masing pihak, maka konflik autistik baru sebatas perbedaan dan kesalahpahaman di level pemahaman dan sikap saja. Namun konflik autistik inilah yang sewaktu-waktu berpotensi besar untuk memunculkan konflik realistik jika ada pemicunya.
Dalam kondisi “timpang” semacam inilah diperlukan kesejatian dialog sebagai “jembatan” interaksi untuk saling memahami dan menghormati. Dialog bukanlah bertujuan untuk mencari dan menentukan agama yang paling benar, tetapi ia adalah media untuk mengembangkan keberagamaan yang otentik. Dialog justru menjadi ajang penciptaan ruang publik bagi eksisnya berbagai pandangan dunia, perspektif, dan ideologi secara bersama-sama dengan spirit perdamaian, rekonsiliasi, pengampunan, nirkekerasan dan berkeadaban.
Oleh karena itu, dialog bukanlah bertujuan untuk mencari dan menentukan agama yang paling benar, tetapi hanyalah media untuk mengembangkan keberagamaan yang otentik. Dialog merupakan pangkal pencerahan nurani dan akal pikiran menuju kematangan cara beragama yang menghargai "kelainan" (the otherness). Sehingga yang diperlukan dalam kerja ini adalah sikap terbuka, semangat mau belajar satu atas yang lain, perasaan rendah hati, dan seterusnya
Dialog bukanlah sekedar pertemuan dan percakapan antar dua pihak atau lebih, tetapi ia adalah pertemuan dua pikiran dan hati mengenai persoalan bersama, dengan komitmen untuk saling belajar agar dapat berubah dan berkembang (Zakiyuddin Baidlawi: 2003). "Berubah" artinya dialog harus dijalankan secara jujur, terbuka, dan simpatik terhadap yang lain, sehingga dapat mengurangi dan mengeliminir prasangka, stereotip, dan celaan. Sedangkan "tumbuh" artinya dialog harus mengantarkan pada informasi dan klarifikasi dari sumber primer, di mana semua pihak berdiskusi secara terbuka dan tulus.
Dengan dialog diharapkan seseorang menjadi sadar dan paham tentang perbedaan sebagaimana apa adanya, sambil memahami ko-eksistensi masing-masing pihak dengan “pengakuan” dan “penghargaan” secara setara. Dialog ini tentu bukanlah berarti mengkhianati agama yang dianutnya, dalam wujud menyamaratakan semua agama sebagai kebenaran (relativity). Tetapi ia justru meniscayakan seseorang untuk meyakini agamanya sebagai kebenaran, dengan tetap menghormati jati diri orang lain, tanpa meleburkan antara satu dengan lainnya.
Sudah sewajarnya jika materi yang didialogkan adalah perbedaan, karena yang menjadi masalah dalam kehidupan memanglah “perbedaan” itu. Sebab pangkal dari sejarah “konfrontasi” di muka bumi ini dapat dipastikan penyebabnya adalah “perbedaan”, bukan persamaan. Di sinilah diperlukan pergeseran dialog dari sekedar mencari “titik temu” menuju elaborasi keunikan masing-masing agama. Dialog harus menumbuhkan pengenalan terhadap kekhasan yang dimiliki agama lain, yang diharapkan mampu menumbuhkan saling pengertian dan pemahaman tentang “perbedaan” tersebut.
Setelah memahami keunikan masing-masing pihak, barulah pemahaman terhadap agama-agama lain dilakukan dalam konteks kesamaan misi universal kemanusiaan (kalimah sawa’) secara kreatif. Universalitas ini tidak berarti harus mematikan potensi-potensi khas yang ada dalam agama tertentu, tetapi sebaliknya malah mampu tumbuh bersama dalam keragaman. Hubungan dialektis antara self dan others ini akan membentuk satu entitas yang hakiki, dalam satu hidup dan satu nafas.
Perjumpaan dan dialog yang konstruktif-berkesinambungan merupakan tugas kemanusiaan yang parennial, abadi, dan tiada titik akhir. Justru ketika manusia hidup melalui perjumpaan berbagai agama, maka ia akan mendapatkan pengalaman antarkultural (intercultural experiences). Dibutuhkan komitmen dan kesungguhan semua komunitas agama untuk bersikap inklusif dan toleran secara setara, sehingga sejauh mungkin seseorang menghindari pernyataan, penilaian, atau sikap yang menohok ke relung ideologis agama lain.
Thanks for reading Keniscayaan Mendialogkan Kelainan

« Previous
« Prev Post
Next »
Next Post »

0 komentar:

Posting Komentar