Home » » Emosi Rakyat Ada Batasnya!

Emosi Rakyat Ada Batasnya!

OLEH: SULIS STYAWAN
Pembelajar di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) dan bergiat Center for Education Urgency Studies (CEUS) FKIP UNY.

Jika mengukur takaran emosi, sejatinya, emosi 223 juta rakyat negeri ini terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara telah sampai di ubun-ubun. Pasalnya, sudah terlalu sering pemerintah berlaku “abai” terhadap nasib rakyat (state neglect), bahkan sering menerapkan kebijakan yang membuat hati rakyat kian terluka.
Ironi
Bencana lumpur Lapindo hingga kini belum tuntas. Malah hati warga korban semburan lumpur terluka dengan kegaduhan eksekutif maupun legislatif soal perlu tidaknya penetapan status lumpur Lapindo. Apakah merupakan bencana alam murni atau bukan!
Fakta ironis serupa juga terjadi ketika proses pembahasan RUU Pemilu yang ternyata selalu diundur-undur oleh anggota DPR hingga baru disepakati awal Maret lalu. Dalam konteks ini, amat gamblang terlihat betapa para elit politik dan pejabat publik di negeri ini lebih mengutamakan kepentingan partainya (ego sektoral partai) daripada kepentingan rakyat, bangsa, dan negara.
Pun kabar mutakhir nan mengejutkan, yakni keputusan Kejaksaan Agung yang menutup mega skandal aliran dana BLBI yang merugikan negara puluhan triliun rupiah. Dugaan kasus suap Rp 6 miliar terhadap jaksa penyidik kasus BLBI, kian menambah dalam duka-lara rakyat negeri ini.
Beban rakyat
Memang, pemerintah telah menerapkan beragam kebijakan di berbagai bidang. Celakanya, beragam kebijakan yang ditempuh pemerintah itu hanya menguntungkan segelintir orang dan kian menambah berat beban hidup yang harus ditanggung oleh rakyat yang notabene sudah amat berat ini.
Selama ini pula, pemerintah juga sering memperhadapkan rakyat Indonesia pada banyak pilihan. Namun ironisnya, dari beragam pilihan itu sama sekali tak ada yang cukup layak untuk dipilih atau diambil. Pasalnya, selain memang dirasa sangat memberatkan, menyakitkan, dan bakal merugikan karena pilihan itu tak berpihak pada rakyat, juga karena di mata rakyat, beragam pilihan itu tak pernah memberikan rasa keadilan.
Betapa tidak. Mulai dari fakta harga-harga sembako (beras, minyak goreng, telur, terigu, dsb) yang kian hari kian “meroket” tak terkendali, harga kedelai yang diprediksi bakal stagnan pada kisaran Rp 7000 per kilogram hingga Juli 2008 nanti, harga pupuk yang mahal dan langka, fenomena kelangkaan BBM yang mengharuskan rakyat untuk antre --bahkan adu jotos-- sekadar untuk mendapatkan seliter minyak tanah, rakyat harus siap dengan kondisi BBM yang dibatasi mulai Mei nanti, penerapan disinsentif pemakaian listrik yang senyatanya kerap byar pet, akses kesehatan yang tetap sulit nan rumit meski punya kartu askeskin, isu-isu meresahkan seputar susu formula dan bahan makanan yang tercemar bakteri berbahaya, serta akses atas pendidikan yang bakal kian sulit pasca pemangkasan anggaran pendidikan sebesar 15 persen dari pagu APBN 2008, fakta kelaparan dan ancaman rawan pangan di berbagai pelosok negeri, dan lain sebagainya.
Ironisnya, semua itu harus terjadi di saat masyarakat kita sedang berdarah-darah dan bersusah payah menanggung beban mahaberat akibat trauma multibencana (gempa, amukan ombak, banjir, tanah longsor, dan puting beliung), yang hingga kini masih terus menghantui masyarakat dan “membombardir” berbagai daerah di penjuru negeri ini.
Pertelingkahan
Memang, sangat ironis sekaligus menggelikan jika melihat polah tingkah para pejabat-birokrat dan elit politik di tingkat eksekutif serta wakil rakyat kita di parlemen. Terkait beragam persoalan yang dihadapi rakyat, pemerintah bukannya berusaha keras mencari solusi terbaik untuk menuntaskan permasalahan tersebut, namun malah sering melakukan pertelingkahan, “berwacana akan”, main “kucing-kucingan”, dan selalu saja mencari kambing hitam.
Lihat saja, apa-apa diinterpelasikan, toh juga tak pernah jelas juntrung-nya. Terkait bencana, listrik byar pet, harga sembako yang terus melonjak, tingkat pengangguran dan kemiskinan yang masih tinggi, fakta kelaparan dan ancaman rawan pangan, kerusakan infrastruktur, terjadi inflasi, dan seterusnya, selalu ada saja yang dikambinghitamkan. Sudah jamak kita ketahui, beragam hal terkait rupa-rupa penderitaan rakyat, oleh elit politik selalu digeret ke ranah politik lalu dijadikan bahan olok-olok dan saling cerca-fitnah.
Ada batasnya
Pemerintah semestinya sadar, betapa emosi rakyat itu ada batas dan takarannya. Emosi warga Porong dengan masalah lumpurnya, memiliki takaran sendiri. Emosi jutaan rakyat miskin yang selama ini ditahan karena setiap hari harus antre BBM, emosi rakyat yang kian menumpuk karena setiap hari disuguhi fakta kenaikan harga sembako, emosi rakyat yang mulai kelaparan dan bergizi buruk di berbagai daerah, emosi rakyat miskin pemegang askeskin yang ditolak berobat ke rumah sakit, emosi para buruh pabrik yang terancam di-PHK, emosi para guru bantu, GTT, dan guru kontrak dengan masalah gajinya, serta emosi kalangan akademisi pro-wong cilik yang hampir pasti bakal meledak jika UU BHP jadi disahkan dan sebagainya. Ingat, semua emosi yang dengan beragam “panji-berdera” masalah itu ada batas dan takarannya masing-masing!
Sulit dibayangkan, seperti apa fenomena chaos (kekisruhan dan keonaran) yang bakal terjadi di tengah-tengah masyarakat kita, jika semua emosi dan kemarahan rakyat itu “meledak” dan diluapkan secara (hampir) bersamaan. Bisa dipastikan, bangsa ini benar-benar akan kisruh, onar, karut-marut hingga lumpuh!
Thanks for reading Emosi Rakyat Ada Batasnya!

« Previous
« Prev Post
Next »
Next Post »

1 komentar:

  1. Iya mas setuju, emosi dan kesabaran rakyat ada batasnya.

    Setelah 2 tahun diombang-ambing gak jelas, rasanya jalur2 demokratis tidak ada lagi yang bisa ditempuh untuk memperjuangkan nasib kami. Lha kalau demokrasi tidak berfungsi, apa salah kalau kami terpaksa memilih anarki?

    BalasHapus