Home » » Sejarah Tempe Dan Tuyul Warisan Onghokham

Sejarah Tempe Dan Tuyul Warisan Onghokham

BEDAH BUKU
Judul : ONZE ONG Onghokham Dalam Kenangan
Penulis : David Reeve, JJ Rizal, Wasmi Alhaziri (ed.)
Tebal : xvi + 358 halaman
Penerbit : Komunitas Bambu, Jakarta
Cetakan : Pertama, Desember 2007
Mereka yang menyukai sejarah pasti mengenal sosok Onghokham. Sejarawan yang meninggal 3 September 2007 lalu ini masih menyisakan banyak kisah mengagumkan. Tak aneh jika Ong’s Labour of Love (para pecinta Onghkham) kemudian merilis buku untuk mengenang sosok sejarawan berdarah Tionghoa ini.
Onghokham adalah sosok yang sangat menarik. Sebagaimana tulis Barbara Hatley, teman Ong saat masih kuliah di Yale University, “(he is) a wonderfully humble, funny, eccentric and totally unique figure whom I feel very privieged to have know” (hal. 49). Ong, begitu akrab disapa, juga merupakan orang yang sangat sederhana. Bahkan menurut Jakob Oetama, sang pendiri sekaligus Pemimpin HU Kompas, Ong adalah orang yang cenderung bicara apa adanya dan apa perlunya. Dan, kesederhanaannya tercermin dalam perilaku dan pakaian yang dikenakan, yang sekaligus menjadi jati dirinya (hal. 173).
Ong juga seseorang yang sangat terbuka dan mudah bersahabat. Nyatanya, dalam buku ini, sekitar 52 orang, baik orang Indonesia maupun luar negeri, berkenan untuk memberikan sepercik kisahnya tentang Onghokham. Selain itu, Onghokham juga dikenal sebagai fasilitator sekaligus mediator bagi para ilmuan sosial dari Cornell University, seperti Deniel Lev, Ruth McVey, Benedict Anderson, dan Herbert Feith. Gagasan-gagasan kritis Ong merupakan pintu masuk terbaik bagi orang-orang luar untuk mengerti denyut dan hiruk pikuk perpolitikan di Indonesia, baik masa lalu maupun masa kekinian –semasa Ong masih hidup.
Onghokham juga memiliki pemikiran-pemikiran yang berani tampil berbeda dari karya sejarah lainnya. Sepulang dari Yale University dengan membawa gelar PhD, Ong bukan menulis tentang peristiwa-peristiwa besar, tapi malah menulis tentang sejarah ‘tempe’ (yang saat ini memang hampir menjadi sejarah alias langka). Diceritakan bahwa makanan “tempe” itu asli khas Jawa, sebab makanan itu tak ditemukan di Bali, Menado, atau Padang. Menurutnya, tempe ini mulai dikembangkan di Jawa pada tahun 1830-an. Baik raja maupun rakyat kecil, bisa dipastikan bisa mengonsumsinya (hal. 37).
Ong juga mengupas tentang ‘tuyul’. Masyarakat Jawa khususnya yang daerah pedesaan, masih banyak yang mempercayai fenomena tuyul. Sosok kecil berkepala botak (plontos) yang bertugas mencuri harta orang lain dan bisa membuat seseorang yang memeliharanya menjadi kaya raya. Di tengah gelombang modernisme, Ong-lah yang mengambil sikap untuk mengabadikan kisah tuyul ini sebelum kepercayaan ini punah di tengah jaman merebaknya teknologi.
Selain memaparkan masalah sepele yang menarik, Ong menulis pula sejarah-sejarah besar. Seperti keruntuhan Hindia Belanda (skripsinya), perang petani Vietnam dengan Amerika, juga seputar Gerakan 30 September (G30S). Namun, yang masih disayangkan, Ong belum bisa dikatakan memiliki karya tulis lengkap yang dianggap sebagai masterpeace pemikirannya.
Sebagai buku yang merupakan kumpulan tulisan, tentunya memiliki titik lemah dalam keruntutan argumen yang seringkali menuangkan komentar yang sama. Sehingga, pengulangan yang sering dilakukan membuat pembacanya cepat bosan. Apalagi, beberapa artikel yang ada ditulis dalam bahasa Inggris, dikarenakan memang penulisnya adalah teman-teman Ong dari luar negeri. Namun, buku ini tetap patut diapresiasikan mengingat Ong adalah sejarawan memiliki khasanah berpikir yang menakjubkan.
(Peresensi: Hendra T. Ardianto, bergiat di Taman Baca Bambu Kuning (MaCa BuKu), Yogyakarta)
Thanks for reading Sejarah Tempe Dan Tuyul Warisan Onghokham

« Previous
« Prev Post
Next »
Next Post »

0 komentar:

Posting Komentar