Home » » PKL Dan Hegemoni Kapitalisme

PKL Dan Hegemoni Kapitalisme

OLEH: Abd. Sidiq Notonegoro
Pengajar di FAI Univ. Muhammadiyah Gresik.

Tidak kurang dari 300 lapak pedagang kaki lima (PKL) di kawasan Gembong, Kapasari dan Kalianyar Surabaya dirobohkan oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Pemkot Surabaya. Salah satu alasan yang dilontarkan Pemkot Surabaya dalam penggusuran tersebut ialah agar kawasan lalulintas di jalan-jalan tersebut kembali lancar. Sebab, dalam kesimpulan Pemkot bahwa faktor utama penyebab kemacetan tersebut ialah keberadaan para PKL tersebut.
Agar tampak penggusuran tersebut tidak semena-mena, Pemkot sebelumnya telah memberikan tawaran rekolasi kepada PKL tersebut. Pemkot menyediakan tempat yang sekiranya dapat digunakan oleh PKL untuk menggelar dagangannya. Sayangnya, pemberian alternatif lokasi tersebut tidak disertai dengan hasil ‘uji kelayakan’ apakah tempat tersebut representatif untuk PKL. Karena relokasi tidak semata-mata memberi tempat kepada pedagang untuk menggelar dagangannya, tetapi juga sejauh mana para pembeli sudi untuk mendatangi tempat-tempat tersebut.
Dengan kata lain, rekolasi yang ditawarkan oleh Pemkot memiliki makna ‘pembunuhan’ secara pelan-pelan terhadap para PKL. Dengan tidak lakunya dagangan PKL ditempar relokasi tersebut, secara otomatis pedagang pun akan gulung tikar dan atau tidak kerasan untuk berjualan ditempat yang baru tersebut. Dengan demikian, kawasan rekolasi tersebut lambat laun juga akan kembali ke pihak Pemkot karena dapat dipastikan akan ditinggalkan begitu saja oleh PKL.
Di sisi yang lain, PKL pun tidak mungkin lagi untuk berjualan kembali ke tempat asal. Sebab dengan adanya relokasi tempat tersebut, Pemkot pun kian memiliki kewenangan untuk melakukan penggusuran dengan tanpa memberikan tawaran relokasi lagi. Satu-satunya jalan yang bisa ditempuh oleh PKL ialah kucing-kucingan dengan Satpol PP.
Ketimpangan Pembangunan
Menjamurnya PKL di Surabaya tidak semestinya disikapi secara semena-mena oleh Pemkot. Terlebih lagi bila penyikapan tersebut cenderung melanggar etika kemanusiaan karena berpotensi menimbulkan tindakan-tindakan represif dan anarkhis. Bukankah sudah menjadi pemandangan umum bagaimana arogansinya pasukan Satpol PP tatkala menjalankan tugas dalam menghadapi kelompok masyarakat kelas bawah semacam ini ?
Semestinya Pemkot Surabaya bisa menyikapinya secara arif berkaitan dengan menjamurnya PKL di Surabaya. Salah satunya ialah memandang bagaimana perkembangan sektor pembangunan dan perekonomian di kawasan-kawasan lain disekitar Surabaya. Misalnya : Sidoarjo, Gresik, Mojokerto, Lamongan dan Bojonegoro. Menjamurnya PKL di Surabaya merupakan parameter tentang gagalnya pembangunan di Jawa Timur secara keseluruhan.
Selain itu, tidak bisa dipungkiri bahwa melubernya PKL ke jalan-jalan utama --sehingga menimbulkan kemacetan yang kerapkali sulit untuk diurai-- merupakan dampak dari tidak akomodatifnya Pemkot terhadap pedagang kecil tradisional. Sebaliknya, Pemkot tampak lebih berpihak kepada kalangan pemilik modal yang memang sangat menjanjikan keuntungan, baik bagi APBD ataupun pribadi-pribadi tertentu di lingkungan Pemkot. Inilah sesungguhnya ketidakadilan dan sekaligus fakta ketimpangan dalam pembangunan yang dibangun oleh Pemkot Surabaya.
Menjamurnya pusat-pusat perbelanjaan modern --- yang dikuasai oleh kaum kapitalisme --- secara tidak terkendali, yang kemudian menyebabkan tergusurnya pedagang-pedagang kecil dari tempat-tempat yang semula dipandang strategis --- dan sekaligus tidak mengganggu ketertiban umum --- tidaklah perlu ditutup-tutupi oleh Pemkot. Maka sesungguhnya menjamur jumlah dan melubernya PKL ke jalan-jalan merupakan konsekwensi logis dari kebijakan tersebut.
Dan untuk mendukung argumentasi di atas, bukankah Walikota Surabaya sendiri, Bambang DH pernah berujar bahwa persoalan PKL di Surabaya sesungguhnya bukan semata-mata persoalan Pemkot Surabaya saja. Tetapi merupakan persoalan akumulasi persoalan yang ada di daerah-daerah sehingga memaksa warganya bermigrasi ke Surabaya?
Kalau dikaitkan dengan pernyataan tersebut, membanjirnya PKL masuk di kawasan Surabaya juga semestinya menjadi tanggungjawab Pemprov. Jawa Timur. Tidaklah tepat bila Pemprov Jatim lepas tangan dengan maraknya penggusuran-penggusuran terhadap PKL di Surabaya sebagai urusan Pemkot Surabaya. Apapun logikanya, ketidak-seimbangan perkembangan pembangunan dan potensi ekonomi antara Surabaya dengan kabupaten/kota lainnya di Jawa Timur merupakan faktor penting dalam mengamati masalah PKL ini.
Masalah Kedisiplinan
Lepas dari persoalan diatas, sesungguhnya yang menjadi faktor utama Pemkot Surabaya bukanlah persoalan menjamurnya PKL di Surabaya. Apapun alasannya, pertumbuhan ekonomi Surabaya yang relatif sangat pesat dibandingkan daerah-daerah lain secara alamiah menarik minat masyarakat daerah untuk berduyun-duyun mengadu nasib ke Surabaya. Sehingga meski tanpa berbekal keahlian atau pengetahuan yang cukup, mereka nekad untuk bergumul berkompetisi di metropolitan ini.
Tapi yang kemudian menjadi persoalan Pemkot Surabaya ialah sulitnya untuk mendisiplinkan para PKL tersebut. Yang memang tidak bisa dipungkiri, ketidak-disiplinan PKL tersebut secara langsung cukup merugikan pengguna fasilitas sosial yang lain. Misalnya jalan raya ataupun trotoar jalan yang semestinya bisa dimanfaatkan oleh para pejalan kaki.
Yang terpenting bagi Pemkot Surabaya sesungguhnya bukanlah melakukan ‘amputasi’ terhadap PKL. Tetapi semestinya Pemkot membuat solusi-solusi bagaimana merelokasi mereka dengan tanpa mengurangi potensi rejeki mereka. Relokasi tanpa mempertimbangkan potensi pasar yang bakal diterima oleh PKL hanyalah ‘bom waktu’ yang sewaktu-waktu bisa menjadi persoalan yang serius bagi Pemkot. Salah satunya ialah berlipat-gandanya pengangguran dan kemiskinan di Surabaya, yang kemudian bermuara pada meningkatnya jumlah tindak kriminal dan juga gelandangan dan pengemis (gepeng).
Karena itu, kearifan merupakan hal yang tidak bisa dinafikan begitu saja oleh Pemkot. Penggusuran yang bertujuan untuk membangun ketertiban dan menguraikan kemacetan memang harus diusahakan. Tapi jangan sampai melanggar norma-norma kemanusiaan dan kehidupan. PKL juga manusia yang butuh makan dan punya keluarga.
Thanks for reading PKL Dan Hegemoni Kapitalisme

« Previous
« Prev Post
Next »
Next Post »

0 komentar:

Posting Komentar