Home » » SUARA REDAKSI

SUARA REDAKSI

Pendobrak Tapal Batas
Raut wajah adalah ruang ekspresi getaran dan gejolak terdalam jiwa manusia. Wajah pucat menandakan jiwa yang sedang tergoncang. Wajah ketakutan mencuat saat keselamatan diri terancam. Suasana hati yang riang terpatri menjadi wajah berselimut kegembiraan. Lalu wajah-wajah kusut masai dijumpai pada individu yang frustrasi. Ibarat cermin, ketulusan jiwa terpancar pada wajah yang bersahaja. Ketegaran dan pahit getir kehidupan yang dijalani seseorang terpahat di wajahnya. Dalam refleksi kolosalnya, Charles Kingsley menyebut kecantikan wajah adalah tulisan tangan Tuhan. Terimalah itu di setiap wajah yang cantik, di setiap hari yang indah, di setiap bunga yang indah. Ada pertanda apa saat kita menyaksikan wajah-wajah gelisah dan pasrah rakyat di negeri ini pada babak awal tahun 2008 ini?
Kerumitan ekonomi global membuat pemerintah bingung. Harga minyak mentah dunia meningkat tajam melampaui prediksi pemerintah. Imbasnya, RAPBN 2008 yang rampung akhir September 2007 langsung kedaluarasa. Demikian pula harga komoditas dan pangan melonjak naik. Pelaku usaha ketar-ketir memikirkan kelanjutan investasi mereka. Pada saat yang sama, mulai mencuat berita anak-anak menderita busung lapar. Maklum, daya beli masyarakat terkapar di tangga-tangga kenaikan harga sembako. Kepasrahan di tengah kemiskinan menjadi mosaik kepedihan.
Di saat bangsa kita tengah terjerat gejala “resesi global”, terbit mentari optimisme bahwa kita akan dan harus menjadi bangsa yang memiliki harga diri dan kemandirian di bidang ekonomi. Tentu saja lantunan litani harapan ini bukan impian kosong atau khayal semu. Tanda-tanda kebangkitan Indonesia baru sudah mulai terlihat pada barisan pengusaha dan kalangan swasta yang tak mau pasrah pada situasi kelam Indonesia saat ini. Ya, kita kagum pada prestasi para chief executive officer atau CEO Indonesia. Dalam usia muda, 28-40 tahun, mereka fokus merintis karir maupun bisnis dari nol dan akhirnya mencetak prestasi gemilang di bidang usahanya.
Dalam bilik-bilik nuraninya, mereka menanam benih visioner bahwa kehidupan adalah rajutan investasi manajemen diri dan ekonomi. Dengan sikap ambisi yang positif, mereka pertama kali mendisiplin dirinya. Ini sebuah perkara tidak mudah. Sebab manusia dalam segala kerapuhannya berjuang memilah mana cita-cita dan mana keinginan. Disiplin kerja hanya tercapai bila setiap individu mulai menata kehidupan pribadi dan merumuskan cita-cita yang ingin ditorehkan dalam kehidupan yang cuma sekali ini. Dan disiplin diri adalah gerak sadar menata hasrat-hasrat liar yang kerap menghambat pertumbuhan diri. Seperti rasa malas, pasrah pada nasib, menyombongkan kepintaran “yang seujung kuku” dan sikap mental menggampangkan pekerjaan.
Kita bisa bertanya dari mana mereka menimba sumber inspirasi yang menggerakkan mereka untuk selalu menghargai waktu, bekerja keras penuh dedikasi dan tak jenuh mendorong sesamanya untuk maju. Dalam kajian pakar manajemen usaha Rhenald Kasali, perjalanan untuk menemukan jati diri dan mengeksplorasi potensi diri yang dahsyat tidak lain adalah gerak perubahan; recode DNA. Daya positif yang membangkitkan hasrat untuk maju, dalam teropong Kasali, bermuara pada kesadaran bahwa setiap manusia tercipta untuk sukses. Sayang potensi diri dengan segala keunggulan dan keunikannya sering terkubur karena lingkungan pergaulan yang salah, cara pandang yang sempit dan masih berkutat dengan pikiran-pikiran negatif bahwa hanya orang kaya saja yang akan terus sukses.
Lalu di mana titik picu yang menyebabkan terbangunnya kesadaran intelektual dan kepekaan bisnis tersebut? Kembali lagi pada mutiara kehidupan bahwa hanya orang yang rajin membacalah yang bisa menjadi pemimpin. Artinya gairah belajar tiada henti dari pengalaman, studi kepustakaan dan bercermin dari pergulatan hidup sesama mencari makna terdalam kehidupan adalah sumber inspirasi kehidupan yang tak pernah kering.
Dari secuil kisah kaum muda yang merengkuh sukses, kita memetik keyakinan mental bahwa Indonesia dapat bersaing dengan negara-negara berkembang maupun maju sekalipun. Lalu dari mana kita bisa mulai memacu atau menabur benih-benih keyakinan itu? Di bangku sekolah? Ah, mustahil cepat sukses karena tidak banyak guru yang sanggup membangkitkan potensi diri anak didik. Banyak guru yang lihai membangkitkan memori ingatan alias kemampuan menghafal teori demi kelulusan ujian. Lalu di keluarga? Memang keluarga adalah sel komunitas terkecil. Banyak generasi muda yang cerdas, berakhlak mulia dan sopan budi pekertinya, tapi menjadi pengangguran?
Belajar pada pengalaman terberi, manusia adalah makhluk yang dikaruniai kebebasan. Dalam alur ungkap sederhana, kesuksesan adalah proses individual dalam memotivasi dirinya sendiri. Melihat kegagalan sebagai bagian integral kemajuan diri dan usaha. Jatuh bangun dalam berusaha dirasakan sebagai kenikmatan tiada tara. Pengalaman gagal adalah garam yang membuat kehidupan tidak tawar. Dengan kekuatan pikiran positif mereka berucap bahwa kesuksesan adalah milik setiap manusia yang harus dicari, diperjuangkan dan dipelihara terus menerus.
Rumus kemandirian bangsa bisa kita gapai bersama dengan (1) bergerak dari wajah konsumen menuju wajah produsen. (2) Bergerak dari wajah “tuan tanah” yang malas menuju wajah “penggarap tanah” yang saling percaya. (3) Bergerak dari wajah mayoritas rakyat yang membisu menuju wajah minoritas yang berpikir kritis-konstruktif. (4) Bergerak dari wajah calon penguasa menuju wajah calon manajemen. (5) Bergerak dari wajah penonton di pinggiran sejarah menuju pendobrak pada tapal batas. (6) Bergerak dari penerima dan pelaksana menuju pencipta, penyebar dan pelaku. (7) Bergerak dari pola cendekiawan pembela rumusan baku kepada cendekiawan penggali kebenaran.
Thanks for reading SUARA REDAKSI

« Previous
« Prev Post
Next »
Next Post »

0 komentar:

Posting Komentar