Home » » Kita (tidak) Bisa Mengakhiri Kemiskinan

Kita (tidak) Bisa Mengakhiri Kemiskinan

OLEH: Abd. Sidiq Notonegoro*
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) per Juli 2007, jumlah masyarakat miskin di Indonesia mencapai 37,17 juta jiwa. Namun bila mengacu pada standar Bank Dunia, bisa jadi masyarakat miskin di Indonesia lebih dari apa yang dilaporkan BPS. Hal ini karena yang dikategorikan sebagai orang miskin ialah mereka yang berpenghasilan di bawah 2 (dua) dolar per hari. Padahal sungguh tidak terkira jumlahnya di Indonesia ini orang yang berpenghasilan kurang dari Rp 10 ribu per hari.
Fakta lain tentang kemiskinan di Indonesia ditunjukkan dengan kian meningkatnya laju migrasi tenaga kerja Indonesia (TKI) ke luar negeri, ironisnya pada umumnya hanya berprofesi sebagai pembantu rumah tangga (PRT) ataupun buruh di perkebunan. Di sisi lain-- seperti misalnya menjelang Idul Fitri --di dalam negeri tampak begitu maraknya “parade orang miskin” yang antri-- mempertontonkan kemiskinannya ----untuk mendapatkan giliran pembagian zakat atau sadaqoh dari orang-orang yang tergolong kaya.
Karena itu, apapun alasannya kemiskinan di Indonesia merupakan masalah yang amat serius. Selain komitmen dan kemauan yang keras untuk membantu masyarakat miskin tersebut dari keterpurukannya, juga dibutuhkan kecerdasan --moral maupun intelektual-- yang tinggi. Sebab cara-cara penanganan terhadap masyarakat yang miskin tanpa diimbangi dengan kecerdasan yang baik hanya akan menambah deretan derita dan jumlah orang miskin sekaligus menjerumuskannya ke dalam jurang kemiskinan yang lebih dalam. Akibatnya, kemiskinan menjadi tidak semata-mata dipengaruhi oleh faktor ekonomi, pendidikan dan politik, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor budaya atau mentalitas.
Kita memang harus memotivasi dan sekaligus menekan pemerintah untuk secara serius menuntaskan masalah kemiskinan hingga tahun 2015. Minimal agar pemerintah --mulai dari tingkat pusat sampai daerah --tidak hanya terjebak pada gincu politiknya saja, sehingga gerakan penuntasan masalah kemiskinan tidak hanya berkutat pada persoalan slogan, simbol atau janji-janji ‘kosong’ semata. Diakui atau tidak selama ini isu penuntasan masalah kemiskinan --dan segala yang mengiringinya-- hanya menjadi amunisi kampanye politik untuk meraih kekuasaan semata.
Paling tidak dengan mengacu pada 8 (delapan) Tujuan Pembangunan Millenium (MDGs) --yang telah digagas oleh 189 kepala pemerintahan pada pertemuan Millenium bulan September tahun 2000 lalu yang meliputi pemberantasan kemiskinan dan kelaparan, pendidikan dasar untuk semua, kesetaraan gender, menurunkan angka kematian anak, meningkatkan kesehatan ibu, memerangi penyakit menular, meningkatkan kelestarian lingkungan hidup, dan mengembangkan kemitraan global-- pemerintah memiliki pedoman kerja yang jelas berkaitan dengan penuntasan masalah kemiskinan.
Cobalah kita simak, entah sudah berapa kali para pejabat kita --baik yang ada di pusat sampai daerah-- membanggakan diri dengan klaim-klaimnya bahwa kemiskinan di wilayah kekuasaannya cenderung relatif berkurang. Namun di sisi lain fakta yang ada di depan mata menunjukkan berbagai derita --kebodohan, penyakit menular dan kematian-- masyarakat yang diakibatkan oleh faktor kemiskinan tidak terelakkan.
Grand Strategy
Sesungguhnya pemerintah sudah cukup banyak memiliki perhatian terhadap nasib kaum miskin. Entah itu berkaitan dengan komitmen moral sebagai manajer negara atau sekedar tebar pesona untuk merenggut simpati massa. Hanya saja apa yang telah dilakukan pemerintah tersebut masih kerap tidak terarah. Tampak nyata pemerintah belum memiliki grand strategy yang tepat. Perhatian pemerintah terhadap orang miskin lebih condong menempatkan orang miskin sebagai “obyek” daripada sebagai “subyek”. Akibatnya, meskipun telah milyaran rupiah dikucurkan untuk orang miskin, akan tetapi belum memberikan dampak yang signifikan berkaitan dengan terangkatnya nasib dan derajat orang miskin tersebut untuk sedikit lebih tinggi.
Karena itu, diperlukan grand strategy yang tepat agar anggaran-anggaran untuk orang miskin --yang diprogramkan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)-- dapat difungsikan secara efektif, terukur dan tepat sasaran serta tujuan. Tepat sasaran dan tujuan tersebut maksudnya ialah anggaran yang dapat memberdayakan orang miskin untuk menjadi manusia yang produktif --dan bukan konsumtif-fatalis. Jangan sampai dengan adanya anggaran untuk orang miskin dalam APBN justru menjadikan orang miskin ‘ternina-bobokan’ dalam kemiskinannya.
Untuk itu, pemerintah perlu belajar dari negara-negara maju berkaitan dengan program pengentasan kemiskinan. Sebagaimana telah menjadi di beberapa negara maju, program pengentasan kemiskinan dikemas dalam satu paket dengan program pendidikan dan kesehatan. Memang kini pemerintah telah mengalokasikan anggaran pendidikan dalam bentuk bantuan operasional sekolah (BOS) untuk meringankan biaya pendidikan --dan bahkan menggratiskan-- bagi orang miskin. Sayangnya, hal tersebut hanya berlaku pada sekolah-sekolah yang tidak berani memberikan jaminan “mutu pendidikan” yang baik. Untuk sekolah-sekolah yang berani memberikan tawaran kualitas unggul, mereka mematok “harga” yang sangat tidak mungkin dijangkau oleh masyarakat yang berpenghasilan di bawah 20 ribu rupiah per hari.
Meski bukan tergolong negara miskin, Indonesia juga bukanlah negara kaya. Kalau dikaitkan dengan kekayaan sumber daya alam, ada yang mengatakan bahwa Indonesia merupakan negara terkaya ketiga di dunia --setelah Amerika Serikat dan Rusia. Tetapi kalau dikaitkan dengan tingkat kemakmuran masyarakatnya, tentunya rakyat Indonesia bukan tergolong masyarakat termakmur ketiga di dunia. Tetapi sebaliknya, masyarakat Indonesia tergolong bangsa miskin dan terbelakang di dunia.
Pro Orang Miskin
Teori apapun pasti akan mengatakan bahwa kucuran anggaran (melalui APBN) untuk orang miskin tak akan berpengaruh signifikan terhadap pemberantasan kemiskinan, bila tidak diimbangi dengan keberpihakan yang nyata terhadap masyarakat miskin. Karena itu, gerakan melawan kemiskinan oleh negara harus dibarengi dengan gerakan melawan mental serakah dan rakus di kalangan (oknum?) pejabat negara --baik eksekutif maupun legislatif-- serta orang-orang kaya.
Tidak dipungkiri bahwa salah satu penyebab kemiskinan masyarakat ialah munculnya mental-mental kapitalistik-materialistik di kalangan ‘elit’ bangsa ini. Harus diakui, di balik isu-isu dan wacana tentang “pemihakan terhadap kaum miskin” ada beberapa gelintir elit yang memanfaatkan kesempatan ini --dengan mengeksploitasi orang miskin-- untuk merengkuh kekayaan secara ilegal. Beberapa kasus membuktikan tentang adanya “pengemplangan” bantuan dana untuk orang miskin oleh beberapa ‘pejabat’, selain juga sebagian orang berkecukupan yang pura-pura miskin demi untuk mendapatkan bagian dari jatah orang miskin.
Minimal ada 3 langkah untuk mendukung gerakan melawan kemiskinan. Pertama, meningkatkan kepedulian terhadap orang miskin. Bila kaum konservatif semisal Auguste Comte maupun Emile Durkheim mengatakan bahwa kemiskinan terjadi akibat kultur dan mentalitas orang miskin yang tidak bisa beradaptasi dengan tatanan sosial yang ada, maka kita perlu mengadopsi pendapat kaum liberal yang dimotori oleh Fredrich August von Hayek bahwa kultur orang miskin tersebut harus diubah melalui pendidikan yang bermutu yang pembiayaannya sepenuhnya ditanggung negara. Kedua, mengeliminasi diskriminasi terhadap orang miskin, yaitu memandang kesejajaran antara pejabat (dan kaya) dengan orang miskin berkaitan dengan hak dan kewajiban sebagai masyarakat bangsa. Dengan kata lain, orang miskin pun layak dan harus diposisikan sebagai “subyek pembangunan” (dan bukan obyek pembangunan). Dan ketiga, mengikis habis perilaku-perilaku koruptif di kalangan elit kekuasaan. Dalam hal ini para koruptor harus benar-benar menjalani proses hukum secara adil.
Tanpa memperhatikan ketiga hal di atas, terasa dan tampak absurd bahwa gerakan melawan kemiskinan akan sukses di negeri ini meski diberi tenggang waktu sampai tahun 2015. Karena itu, meski sesungguhnya kita bisa mengakhiri kemiskinan di negeri ini --tetapi kita [mungkin juga] tidak bisa mengakhiri, bila (minimal) ketiga langkah di atas diabaikan begitu saja.
*) Staf Pengajar FAI Univ. Muhammadiyah Gresik dan Ketua LPAM Pemuda Muhammadiyah Jawa Timur.
Thanks for reading Kita (tidak) Bisa Mengakhiri Kemiskinan

« Previous
« Prev Post
Next »
Next Post »

0 komentar:

Posting Komentar