Home » » Pilot, Dokter Dan Guru

Pilot, Dokter Dan Guru

Oleh: AJ Susmana*
Aku lebih mempercayai ilmu pengetahuan, akal. Setidak-tidaknya padanya ada kepastian-kepastian yang bisa dipegang.
(Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia)
Beruntunnya pesawat jatuh di negeri ini beberapa waktu lalu sungguh memprihatinkan kita semua. Kelaparan yang sistematis akibat dari kemiskinan struktural, bencana alam dan musibah pun tak ikut berhenti menghukum. Apa yang salah dengan negeri ini?
Apapun yang berhubungan dengan alat modern, teknik, termasuk di bidang kedirgantaraan, kedokteran, dan pendidikan selalu berhubungan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan begitu kita dapat menjadi manusia yang modern yang memahami nilai-nilai “... semangat, sikap, pandangan, yang mengutamakan syarat keilmuan, estetika dan efisiensi.” Begitu setidaknya makna modern yang diungkapkan Pramoedya Ananta Toer melalui tokoh Minke yang mendapatkan pengajaran dari guru yang luar biasa: Juffrow Magda Peters. (Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia, Lentera Dipantara, Jakarta, cet. I 2005;211-214) Di bidang ini kita jelas ketinggalan jauh dari bangsa-bangsa lain karena pendidikan sebagai hak warganegara tidak diberikan sepenuhnya dan pada seluruh warganegara.
Kita lihat jutaan rakyat yang putus sekolah ataupun lulus dengan kemampuan yang minim sehingga tak siap untuk memasuki dunia kerja atau dunia ilmu pengetahuan tingkat lanjut dan berguna untuk kemajuan kemanusiaan. Tampak jelas di mata kita ratusan ribu anak tak melanjutkan sekolah karena kemiskinan dan ketiadaan biaya. Setiap hari kita memikirkan jalan keluarnya: Mungkinkah pendidikan gratis untuk memajukan sumberdaya nasional di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi?
Masih ingat pertanyaan guru ketika kita masih kecil? “Apa cita-citamu?” Jawaban yang terkenal ada tiga: Pilot, Dokter dan Guru. Ini menunjukkan bahwa harapan rakyat di ketiga bidang tersebut sungguh besar. Ketiga cita-cita itu menunjukkan harapan bangsa akan keunggulan di bidang teknologi, kesehatan dan pendidikan. Kita pun dapat menunjukkan kemajuan bidang kedokteran dan peranannya dalam gerakan kemerdekaan Indonesia. Cipto Mangun Kusumo boleh kita sebut sebagai orang besar yang memajukan kesehatan rakyat Hindia Belanda yang dicintainya sebagai satu bangsa yang dicita-citakan: anti feodalisme dan kolonialisme. Ia terkenal atas keberhasilannya memberantas wabah pes di Malang. Karena itu ia dihormati termasuk oleh pemerintah Hindia Belanda. Untuk kerja rela dan keberaniannya di Malang itu, Cipto telah dianugerahi penghargaan terhormat bintang Orde Van Orange Nassau dari Pemerintah Hindia Belanda. Di saat-saat terakhir dari hidupnya pun ia masih sanggup memfasilitasi pemuda-pemuda Indonesia menghadapi fasisme Jepang.
Di masa Orde Lama masih terngiang di telinga rakyat kecil ketangguhan pertahanan dan keamanan rakyat Indonesia yang disegani di Asia pada Angkatan Laut dan Udara. Angkatan Laut lebih-lebih memberikan kebanggaan masa lalu yang tercermin pada cerita besar Kerajaan Majapahit dengan peristiwa-peristiwa tragis dan tragedi di dalamnya. Kita pun mengenal Empu Nala yang mengerti arah angin. Yang tak mengerti arah angin berarti tak menguasai dunia. (Baca: Arus Balik, Pramoedya Ananta Toer).
Apakah kecelakaan pesawat dan alat-alat transportasi lainnya: kapal laut, kereta api, bus dan bisa ditambahkan sendiri merupakan kemunduran kita yang jauh sebagai bangsa maritim yang pernah jaya?
Jelas jawabannya adalah ya. Kita sebagai bangsa benar-benar terpuruk di mata dunia. Tanah Air Indonesia penuh dengan kekayaan alam tak bisa dipungkiri. Tapi Rakyat Indonesia hidup miskin dan sengsara tentu tak bisa dipahami dan dibenarkan. Salah satu sebab pokok yang membuat Indonesia terus miskin adalah keuntungan sumber daya alam yang tak ternilai: minyak, gas, emas, nikel, selama ini dikuasai dan dimonopoli perusahaan-perusahaan asing. Dari daftar yang dikeluarkan BP-Migas sendiri terlihat: penguasaan 56 kontrak kerjasama minyak dan gas di Indonesia, mayoritasnya adalah asing (bpmigas.com). Dengan alasan modal, pemerintah leluasa memberi izin kepada perusahaan asing untuk menggali minyak dan sumber mineral lainnya lalu menerima pembayaran bagi hasil dengan persentase yang kecil untuk negara bahkan pemerintah pun hendak menjamin: tak akan ada nasionalisasi bagi perusahaan-perusahaan asing seperti itu.
Meskipun Indonesia menempati posisi produsen terbesar kedua untuk komoditas timah, keempat untuk komoditas tembaga, kelima untuk komoditas nikel, ketujuh untuk komoditas emas, dan kedelapan untuk komoditas batu bara, tetap saja terbelit beban utang yang tidak sedikit. Model demikian inilah yang diterapkan kaum imperialis di berbagai negara dengan dukungan pemerintahan setempat: memberi utang sebanyak-banyaknya, menanamkan modal untuk menjarah potensi ekonominya serta mengontrol kebijakannya. Wajar saja perusahaan seperti ExxonMobil (pemegang berbagai kontrak migas di Indonesia) bisa mendapatkan keuntungan total dari penjarahan di berbagai negeri hingga $36,1 milyar pada tahun 2005. BP-Amoco yang memproduksi 10 persen gas nasional Indonesia bisa mengeruk keuntungan US $1,3 miliar per tahun dan PT Freeport McMoran mendapatkan keuntungan $ 934 juta untuk tahun 2004. Dan bayangkan saja! Para direktur tambang perusahaan imperialis (MNCs/TNCs) umumnya menerima gaji antara $200,000–$300,000 per bulannya sementara penduduk-penduduk sekitar tambang dan negara jarahan hidup dengan penghasilan di bawah $1/hari.
Kekayaan tambang Indonesia tidak membawa kemakmuran dan kesejahteraan rakyatnya karena sebagian besar industri tambang itu telah digadaikan pemerintah pada perusahaan-perusahaan asing. Keuntungannya pun menjadi keuntungan asing. Karena itu meskipun saat ini industri tambang menikmati rezeki nomplok dari kenaikan harga produk pertambangan, industri manufaktur ataupun sektor lain di Indonesia yang mengandalkan bahan baku tambang justru menghadapi masalah kekurangan pasokan. Misalnya, industri semen, logam, aluminium, timah, batu bara, dan gas.
Terbukti pula sejak berdirinya Orde Baru hingga pemerintahan SBY-Kalla, kebijakan ekonomi-politik yang menempatkan keuntungan bagi pihak pemodal asing terbukti gagal. Dan gagal pula menjadi pilot, dokter dan guru yang dibanggakan dan diandalkan sebagai bunga-bunga bangsa, sekaligus cita-cita kebanggaan waktu kecil itu.
*) Wasekjen Bidang Kaderisasi dan Komunikasi Massa DPP Papernas, tinggal di Jakarta.
Thanks for reading Pilot, Dokter Dan Guru

« Previous
« Prev Post
Next »
Next Post »

0 komentar:

Posting Komentar