OLEH: WURI WIGUNANINGSIH
Sungguh memprihatinkan, angka gizi buruk pada balita di Surabaya, selama dua tahun terakhir mengalami peningkatan. Hal ini sangat kontradiktif dengan keberadaan Surabaya sebagai kota terbesar kedua di Indonesia dan kota metropolitan. Dari data pasien gizi buruk yang dirawat di rumah sakit milik Pemkot, RSUD dr Soewandhie, per tahun 2006 tercatat 88 penderita, tahun 2007 menjadi 135 penderita (130%) dan baru memasuki 2008, jumlah penderita sudah mencapai 16 orang.
Dari keseluruhan penderita, yang murni mengalami gizi buruk karena asupan makanan kurang bergizi 5%. Sedangkan sisanya, balita gizi buruk yang disebabkan karena penyakit. "Sebagian besar balita gizi buruk karena balita itu mengidap penyakit tertentu seperti diare maupun penyakit bawaan," kata Kepala Seksi Kesehatan Keluarga Dinas Kesehatan Surabaya, Marisulis.
Marisulis menjelaskan, umumnya balita yang mengalami gizi buruk karena si ibu tidak pernah dibawa ke Posyandu. Kalau rutin mengunjungi Posyandu, perkembangan terkontrol. Jika ada kelainan, pasti akan langsung ditangani. Sedangkan penyebab kedua adalah masalah ekonomi. Tapi untuk masalah yang satu ini menurut Marisulis masih bisa disiasati dengan memberikan makanan yang bergizi tapi murah.
Kepala Dinas Kesehatan Surabaya, dr Esti Martiana mengatakan, kader Posyandu diharapkan lebih diaktifkan secara maksimal. Karena Posyandu yang menjadi ujung tombak keberadaan gizi buruk pada balita. Selain itu, pihaknya siap melibatkan Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Unair untuk memberantas dan mengantisipasi gizi buruk. "Dalam mengatasi gizi buruk, Dinas kesehatan juga sudah memperjuangkan adanya sarana transportasi untuk kader Posyandu yang tersebar di Surabaya," katanya.
Saat ini juga intensif dilakukan penyuluhan dengan tujuan merubah paradigma dalam masyarakat. Paradigma yang menjadikan perhatian gizi balita sebagai prioritas terakhir dalam keluarga menjadi anak prioritas yang utama. Karena banyak masyarakat yang mementingkan mekanan kepala keluarga dibandingkan balitanya. Esti menambahkan, anggaran untuk perbaikan gizi dalam APBD 2008 sebesar Rp 2 miliar.
Sungguh memprihatinkan, angka gizi buruk pada balita di Surabaya, selama dua tahun terakhir mengalami peningkatan. Hal ini sangat kontradiktif dengan keberadaan Surabaya sebagai kota terbesar kedua di Indonesia dan kota metropolitan. Dari data pasien gizi buruk yang dirawat di rumah sakit milik Pemkot, RSUD dr Soewandhie, per tahun 2006 tercatat 88 penderita, tahun 2007 menjadi 135 penderita (130%) dan baru memasuki 2008, jumlah penderita sudah mencapai 16 orang.
Dari keseluruhan penderita, yang murni mengalami gizi buruk karena asupan makanan kurang bergizi 5%. Sedangkan sisanya, balita gizi buruk yang disebabkan karena penyakit. "Sebagian besar balita gizi buruk karena balita itu mengidap penyakit tertentu seperti diare maupun penyakit bawaan," kata Kepala Seksi Kesehatan Keluarga Dinas Kesehatan Surabaya, Marisulis.
Marisulis menjelaskan, umumnya balita yang mengalami gizi buruk karena si ibu tidak pernah dibawa ke Posyandu. Kalau rutin mengunjungi Posyandu, perkembangan terkontrol. Jika ada kelainan, pasti akan langsung ditangani. Sedangkan penyebab kedua adalah masalah ekonomi. Tapi untuk masalah yang satu ini menurut Marisulis masih bisa disiasati dengan memberikan makanan yang bergizi tapi murah.
Kepala Dinas Kesehatan Surabaya, dr Esti Martiana mengatakan, kader Posyandu diharapkan lebih diaktifkan secara maksimal. Karena Posyandu yang menjadi ujung tombak keberadaan gizi buruk pada balita. Selain itu, pihaknya siap melibatkan Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Unair untuk memberantas dan mengantisipasi gizi buruk. "Dalam mengatasi gizi buruk, Dinas kesehatan juga sudah memperjuangkan adanya sarana transportasi untuk kader Posyandu yang tersebar di Surabaya," katanya.
Saat ini juga intensif dilakukan penyuluhan dengan tujuan merubah paradigma dalam masyarakat. Paradigma yang menjadikan perhatian gizi balita sebagai prioritas terakhir dalam keluarga menjadi anak prioritas yang utama. Karena banyak masyarakat yang mementingkan mekanan kepala keluarga dibandingkan balitanya. Esti menambahkan, anggaran untuk perbaikan gizi dalam APBD 2008 sebesar Rp 2 miliar.
0 komentar:
Posting Komentar