Home » » Generasi Instan

Generasi Instan

SOKSIOLOGI

Zaman sekarang semuanya serba instan. Dari kopi, susu, mi, sampai cinta bisa dinstankan. Artinya bisa tersedia secara cepat saji dan dijual karena ada pembeli. Kalau masalah makanan, minuman, atau kebutuhan sembako lainnya disediakan dalam bentuk instan, itu masih bisa diterima dengan akal sehat. Tapi kalau cinta bisa dijual instan, itu yang membikin kita meringis. Kalau mau bukti bahwa cinta bisa tersedia instan, silahkan pergi ke diskotik, night club, karaoke, panti pijat, atau lokasi pelacuran. Di sana banyak dijajakan cinta instan dalam berbagai tingkat kelas dan harga, dengan segala servis dan hiasan cinta yang instan pula. Kalau anda ingin mendapatkan servis instannya, tolong persiapkan uang tebal untuk pembayaran servisnya. Jangan coba-coba main kemplang di sana, kalau tidak ingin burung anda dikemplang juga.

Murid-murid di Indonesia belajarnya termasuk menganut sistim instan. Dari tingkat TK sampai Perguruan Tinggi. Kebebasan bermain dan berkreativitas di tingkat TK sudah harus diganggu dengan sistim yang mengajarkan menulis dan membaca huruf, yang seolah-olah keberhasilan TK dilihat dari cepatnya murid bisa membaca dan menulis, bukan kepada kreativitas menggambar, membentuk, bercerita, menyanyi dan berimajinasi. Hasilnya adalah murid kehilangan kebebasan berimajinasi dan keberaniannya mengekspresikan dirinya menjadi turun. Di tingkat SD, SMP dan SMA juga demikian. Murid dipompa dengan berbagai kursus, les dan bimbingan belajar, khususnya dalam bidang eksakta (matematika, fisika, kimia dan biologi), walaupun minat murid tidak di sana. Murid menjadi stres mempelajari berbagai hal yang tidak diminati. Terlalu banyak waktunya habis, sehingga hal-hal yang diminatinya tidak mendapat perhatian. Di universitas juga demikian. Mahasiswa terus dijejali berbagai teori dan literatur, baik tingkat dasar maupun tingkat tinggi. Waktunya habis untuk menghafal dan berdiskusi, hanya sedikit waktu yang bisa digunakan untuk berpraktek dan berkarya. Setelah tamat universitas, dia belum mengetahui untuk apa belajar sesuatu dalam dunia yang serba sempit dan cepat ini. Sistim pendidikan instan ini menghasilkan murid yang mengetahui banyak tapi minim pemahaman, yang belajar banyak tentang banyak hal, tapi sangat sedikit bisa dimanfaatkan untuk memecahkan beberapa masalah.

Generasi instan itu sudah lahir. Terlalu banyak teori diotaknya. Terlalu miskin praktek dalam sikap. Dia harus dipoles dan digosok untuk lebih banyak belajar dan berkarya, bahwa segala hal yang instan dalam hidup sifatnya sementara dan mudah hilang. Semuanya membutuhkan proses untuk menjadi sesuatu yang bernilai. Untuk menjadi berhasil harus melalui banyak kegagalan yang harus diperbaiki. Untuk menjadi pintar harus banyak belajar tentang suatu hal secara mendalam. Untuk menjadi bijaksana harus banyak belajar dari pengalaman dan kebodohan. Untuk menjadi kaya harus banyak berkarya dalam keahlian, berhemat dan menabung. Tidak ada jalan pintas dan instan. Semuanya melalui proses yang harus dilalui, agar kuat dan mantap.

Generasi instan siap mengisi lowongan pekerjaan dalam berbagai bidang. Umumnya generasi instan suka pekerjaan yang gampang dan bergengsi, yaitu menjadi pegawai negeri. Fenomena ini bisa dilihat dari perbandingan jumlah pelamar dan jumlah pegawai yang dibutuhkan sampai satu berbanding seratus. Sesuai dengan hukum pasar, tentu harga yang harus dibayar untuk masuk menjadi pegawai negeri menjadi meningkat, baik secara materiil maupun non materiil, yang semuanya itu bisa dikalkulasi dengan rupiah. Semuanya itu merupakan harga yang tidak masuk akal jika dibandingkan dengan gaji resminya yang akan diperoleh. Untuk kalkulasi biaya agar memberikan hasil yang positif, tentu ada gaji yang tidak resmi yang akan diperoleh di bawah meja. Tentu saja semakin tinggi jabatan dan semakin basah tempatnya bekerja, maka akan semakin banyak pula pendapatan tidak resmi yang bisa didapatkannya. Kalau generasi instan ini yang mengelola negeri, entah macam apa nanti bentuk kemakmuran rakyat yang bisa dihasilkan. Saya tidak paham.

Generasi instan juga hadir dalam bidang pekerjaan swasta. Dari pengacara, kontraktor, wartawan, seniman, pegawai sampai pengusaha. Mereka ingin cepat berhasil dan cepat mendapatkan hasil. investasi keahlian dan pengabdian dalam profesi yang telah dilakukan hampir nihil. Karena semuanya dianggap bisa diselesaikan dengan uang, dan pengabdiannya dianggap tidak diperlukan jika tidak menghasilkan uang. Sampai pada titik ini akan muncul suatu paham baru yang disebut moneyteisme, yaitu suatu paham yang berhubungan dengan UUD (Ujung-Ujungnya Duit). Beberapa istilah dalam masyarakat muncul sebagai tanda munculnya paham moneyteisme: “Saya mau bekerja bila ada uang. Jangan hanya ngomong pakai mulut, tapi kantong juga harus bicara.” Semuanya ini bisa kita lihat dalam praktek kehidupan masyarakat yang bisa diselesaikan dengan duit, seperti mencari KTP, kena tilang, berurusan pajak, mencari kerja, menyelesaikan perkara, berurusan dengan polisi, pengacara, jaksa dan hakim. Isu jual beli suara pada pemilu legislatif atau eksekutif merupakan sekelebat bayangan yang dilakukan oleh generasi instan untuk mendapatkan posisi politik secara cepat.

Pacaran secara instan juga bisa menghasilkan perkawinan instan. Mungkin karena alasan kebelet secara biologis mengakibatkan perut perempuan membuncit yang harus dipertanggung-jawabkan, kalau tidak ingin melahir anak haram jadah. Perkawinan instan bisa juga terjadi karena ketertarikan dalam hal fisik dan materi. Cinta memang tidak bisa dibeli, tapi kenyataannya dia bisa dibayar. Pada saat harga dasar cinta tidak bisa dicairkan, atau karena kebutuhan semakin melangit, sehingga biaya cinta harus dibayar semakin tinggi, dan pembelinya sudah tidak kuat lagi membayar, maka bubarlah perkawinan instan itu. Banyak perkawinan instan berakhir dalam perceraian. Ada yang berpisah sambil menangis, ada juga yang sambil tertawa-tawa, karena mendapatkan harta gono-gini.

Kalau anda ingin mendengar keluh kesah insan pedagang cinta instan, cobalah bercurhat dengan cewek dugem, baik yang berlokasi di karaoke, night club, atau di kafe remang-remang. Hampir sebagian besar masalah yang dihadapi adalah karena masalah uang. Apakah karena dia minggat dari suaminya yang tidak becus memberikan nafkah, atau karena dia diminggati suaminya karena dia terlalu liar lahir batin. Hidupnya gemerlap dan glamor di malam hari, bak dewi harum yang dipuja lelaki hidung belang dengan bayaran selangit, yang tentu saja sebagian besar keuntungan dari bayaran tersebut diambil oleh sang germo, sedangkan di siang hari hidupnya terperangkap di kamar kos. Ada yang nasibnya lebih baik, dia berhasil meningkatkan status menjadi istri simpanan yang hidupnya kesepian di rumah kontrakan. Di daerah pariwisata, cita-cita cewek dugem ingin dipersunting turis mancanegara dan hidup di luar negeri, walau menjadi apa. Seorang lonte seksi dan berpengalaman menggaet pria hidung belang berduit berkata, “Walau bagaimana lonte tetap lonte, dia tetap tidak bisa kaya walaupun sudah berhasil menjadi piala bergilir orang kaya, karena dasarnya sudah lonte.” Dia adalah salah satu dari generasi instan yang mengerti walau terlambat, bahwa instan itu merugikan dirinya sendiri.

Lantas apa mau dikata? Generasi instan sudah lahir dari sebuah peradaban globalisasi, konsumerisasi, eksploitasi, dengan berbagai tingkah-polahnya untuk mencari jati dirinya di luar dirinya sendiri. Untuk hal ini, marilah kita merenung sejenak mencari jalan keluarnya.

KPO/EDISI 142/2007
Thanks for reading Generasi Instan

« Previous
« Prev Post
Next »
Next Post »

0 komentar:

Posting Komentar