Home » » Kepemimpinan

Kepemimpinan

SOKSIOLOGI (BOX)

Pikiran Kentus berontak berat. Otaknya mumet pusing tujuh keliling. Matanya susah diajak tidur. Pikirannya selalu melayang ke tempat lain. Kadang-kadang omongannya berputar-putar ke masa lalu. Sering dia ngomong, mengumpat, tertawa, murung dan menangis sendiri. Dari luar dia tampak tegar dan sangar, tapi di dalam dirinya dia merasakan kerapuhan. Kentus terobsesi ingin jadi bupati. Semua modalnya dia pertaruhkan untuk pilkada, dari membeli kendaraan politik, dana kampanye, temu kader, uang keamanan, uang sosial, nyogok preman, sampai dana serangan fajar telah dilakukan. Hitungan di atas kertas, Kentus menang. Ditambah dengan fakta di lapangan, massa hadir membludak setiap kampanye. Sebagai petarung ulung Kentus melayani ajakan judi lawan politiknya sebesar satu milyar rupiah, dengan harapan kalau menang nanti bisa digunakan untuk pesta rakyat. Untuk memantapkan niatnya menjalani pilkada , kentus rajin berdoa, berpuasa, melakukan tirakat dan berbagai pantangan. Dalam waktu enam bulan Kentus berubah menjadi mahluk spiritual yang memiliki keyakinan yang tinggi untuk menang. Dia merasakan semakin besar aura kepemimpinan dari dalam dirinya. Hatinya mantap dan yakin akan kemenangannya di hari pencoblosan.

Setelah perhitungan suara, jiwa Kentus terasa melayang, tubuhnya lemas dan tatapan matanya kosong. Dia tidak percaya dengan hasil suara yang diraih. Suara Kentus jeblok nomor bontot. Kentus sakit gigi, menjadi pendiam dan pemurung, susah nyahut kalau diajak bicara. Ibarat komputer, otaknya heng. Dia ingin marah, tapi kepada siapa. Dia ingin ngamuk, tapi bagaimana caranya. Pikirannya mengumpat sejuta serapah, ”suara rakyat memang tidak bisa dipercaya, bisa dibeli dan dijual berkali-kali, tanpa kuitansi!” Di lain waktu Kentus tertawa sendiri menertawakan kebodohannya, dia percaya dengan ramalan paranormal yang tidak tamat SD, yang telah menghadiahinya keris pusaka Sumelang Gandring dari Majapahit dan menukarkannya dengan mas kawin dua ratus juta rupiah. Lengkaplah sudah kekalahan Kentus di hari pencoblosan, hatinya meringis seperti disayat sembilu. Dia kalah suara, kalah judi, ditipu pula.

Di lain tempat Warok sebagai pendukung berat salah satu kandidat sangat terobsesi calonnya harus menang. Kenyataannya calonnya hanya menduduki peringkat kedua saja. Karena jurus yang dipakai untuk memenangkan calonnya adalah jurus tebar duit, tebar janji, tebar pesona dan tebar preman, maka dia yakin seyakin-yakinnya untuk memenangkan jagonya dengan mudah. Tentu jika jagonya menang dia juga akan kecipratan jatah menjadi kepala pasar atau kepala parkir, yang bisa membikin kantong tebal. Melihat calonnya kalah, dia dongkol berat, dia merasa dikibuli dan diliciki. Dia juga ingin menjadi pahlawan bagi jagonya yang kalah. “Pokoknya hasil pemilu harus dibatalkan, karena kurang aspiratif dan demokratif, atau jika tidak, maka kota hancur,” ketusnya dalam hati. Setelah beberapa preman kunci digerakkan, beberapa gedung pemerintah dibakar. Dalam waktu satu minggu warok dan kelompoknya ditangkap dan dijebloskan ke ruang tahanan oleh pak polisi. Warok menyesali perbuatannya, tapi sesal kemudian tak berguna. Walaupun Warok mengatakan dirinya orang suruhan, tapi buktinya tidak ada dan dia harus menanggung sendiri perbuatannya.

Apa yang dipaksakan pasti patah. Apa yang diharuskan jika tidak mampu dilakukan pasti bikin stres. Jika terlalu yakin akan kemampuan hasilnya sering lain dengan harapan. Jika kita tidak siap menghadapi kekalahan, mungkin juga kita tidak siap menghadapi kemenangan. Ternyata untuk sukses tidak cukup hanya dengan kerja keras saja, tidak cukup dengan kekuatan otak dan otot, tapi juga harus ada kekuatan hati, untuk mencerna, berdialog, menimbang dan memutuskan, sehingga kita bisa dengan gembira menerima kemenangan dan dengan lapang dada menerima kekalahan. Jika tidak, maka kita akan terus menerus melanjutkan perseteruan di dalam diri, selalu merasa tidak puas dengan kemenangan dan merasa tercampakkan bila mengalami kegagalan.

Tujuan dari kompetisi adalah bukan saling mengalahkan, tapi memberikan hasil karya yang terbaik, menunjukkan prestasi, menyaring kemampuan individu atau kelompok yang baik dan kurang baik. Oleh karena itu kompetisi sangatlah penting untuk menghasilkan kualitas yang lebih baik. Kesiapan individu atau kelompok yang berkompetisi juga harus diimbangi dengan kesiapan mereka menjalani kompetisi secara sehat, sesuai norma dan aturan, serta kesiapan mereka menerima kekalahan dan merebut kemenangan. Ketidak-siapan mereka akan menghasilkan budaya minder jika kalah dan arogan jika menang. Mereka juga bisa stress dan ngamuk jika kalah, sombong dan lupa daratan jika menang. Mereka yang tidak siap berkompetisi, tidak menerima kekalahan dengan legowo, atau tidak menyambut kemenangan dengan rendah hati, pastilah tidak siap menjadi pemimpin.

Tiga orang calon pemimpin dalam suatu organisasi berkompetisi secara tidak sehat. Mereka saling menjegal, menjatuhkan dan main intrik, sehingga terbentuk kelompok-kelompok pendukung pro-sana dan pro-sini. Secara alamiah ketiga calon pemimpin itu sebenarnya telah menunjukkan jati dirinya, yaitu mereka tidak memiliki kemampuan dan kepemimpinan, karena mereka telah gagal sebagai agen pemersatu. Seorang pemimpin adalah ia yang bisa memersatukan kelompok-kelompok yang berseteru, bukan memecah belah. Seorang pemimpin yang sibuk mencari pengikut bukanlah pemimpin. Kekuatan seorang pemimpin dapat dilihat dari kemampuannya untuk menarik pengikut.

Pemimpin lahir karena ditempa. Ibarat pedang yang kuat, tajam dan bertuah dihasilkan dari campuran baja dan besi yang tepat, dengan tempaan panas dan hantaman godam yang kuat dan sabar dari seorang empu. Pemimpin muncul bukan karena harus hadir, tetapi karena waktu. Waktulah yang memberikan pengalaman dan kekuatan untuk melahirkan pemimpin. Bagi pemimpin yang lahir belum waktunya ibarat murid yang belum tamat tapi sudah mendapat ijazah. Belum berhasil tapi sudah berlagak pintar.

Kepemimpinan juga bisa dinilai dari kemampuannya dalam menyelesaikan masalah. Pemimpin yang selalu kalang kabut dan rajin minta bantuan jika menghadapi masalah belumlah cocok sebagai pemimpin. Dia harus banyak belajar dan memperbaiki diri. Pemimpin yang mudah stress dan lemes jika mengalami masalah berat haruslah meningkatkan powernya dengan ilmu dan sabar.

Salah satu kunci keberhasilan Maha Patih Gajah Mada dalam ilmu kepemimpinan dalam kitab Astadasa Kottamaning Prabhu (Delapan Belas Dasar Ilmu Kepemimpinan) adalah harus memiliki sikap wijaya, yaitu sikap tenang, sabar dan bijaksana. Untuk menjaga agar sikap kita tenang, sabar dan bijaksana diperlukan latihan kesadaran secara terus menerus. Disinilah pentingnya kekuatan doa, introspeksi diri dan kerendahan hati yang harus selalu dibangun untuk membangkitkan kesadaran kita sebagai pemimpin, sehingga kita terus menerus diingatkan, bahwa salah satu tugas pemimpin itu adalah melayani, bukan dilayani. Apapun tugas yang harus diemban sebagai pemimpin, sikap tenang, sabar dan bijaksana tidak boleh ditinggalkan. Jika tidak, maka secara perlahan-lahan seorang pemimpin akan ditinggalkan sendiri oleh pengikutnya. KPO/EDISI 133/2007

Thanks for reading Kepemimpinan

« Previous
« Prev Post
Next »
Next Post »

0 komentar:

Posting Komentar