Home » » Komunikasi Atau Mati

Komunikasi Atau Mati

Dogler dan keluarganya dikucilkan oleh warga banjar di desa. Penyebabnya bukan karena hal yang sepele, tapi cukup serius, yaitu karena perebutan sebidang tanah satu-satunya yang dia anggap sebagai sisa warisan dengan warga banjar yang telah menggunakan tanah tersebut sebagai bale banjar sejak zaman kakeknya. Dogler memperjuangkannya karena dia merasa berhak. Warga Banjar bersikukuh mempertahankan tanah tersebut karena hal yang sama. Setelah berperkara selama lima tahun, ternyata Dogler menang. Justru dengan kemenangan tersebut Dogler menjadi kalah di banjarnya, kalah suara, kalah dukungan, yang mengakibatkan dia harus keluar dari anggota banjar. Sebelum ketegangan berlanjut, maka aparat pemerintah turun tangan menengahi perseteruan. Setelah melalui proses negosiasi yang alot, Dogler diperbolehkan menjadi anggota banjar dengan membayar uang denda sebesar 200 juta rupiah, dan sebelum uang itu dibayar, maka setiap warga dilarang berkomunikasi dengannya, dan jika ada warga yang melanggar akan didenda 500 ribu rupiah. Tentu saja Dogler pusing tujuh keliling. Jangankan uang denda, uang untuk makan besok saja dia belum punya. Mungkin ini suatu taktik mengeluarkan dia sebagai warga banjar.

Kita tidak tahu siapa yang salah. Mungkin kita juga tidak mau tahu, apakah Dogler seorang preman atau lugu, orang rajin atau malas, orang sombong atau ramah. Yang jelas dia adalah orang yang kalah dalam bernegosiasi, dia telah berani melawan arus, memperjuangkan kebenarannya yang dia anggap benar, melawan suara orang banyak, yang mungkin juga benar atau salah, tapi yang jelas dia sudah kalah. Dia harus tergusur dari banjarnya sendiri. Dogler bengong. Dia tidak tahu bahwa dirinya menjadi terkenal karena setiap hari diberitakan di media massa. Dia tidak pernah membaca koran dan tidak punya TV.

Apa yang salah dalam kasus Dogler? Itu yang disebut komunikasi. Dalam komunikasi perlu adanya saling mengerti dan memahami, saling mendengarkan dan menjelaskan, serta saling memberi dan menerima informasi, sehingga tidak terjadi saling arogansi dan menang sendiri, saling menjatuhkan, dan saling menutup informasi, yang pada akhirnya mengakibatkan kebuntuan komunikasi, pengucilan dan penyingkiran anggota secara sepihak. Dogler tidak menyangka akan akibat dari ulahnya sendiri yang selalu merasa benar dan kuat walau berjuang sendiri. Di lain pihak, sebagian warga banjar juga merasa menyesal, kenapa akhirnya suasana kekeluargaan di desa menjadi berantakan, sampai salah seorang dari anggota banjarnya menjadi korban pengucilan. Tetapi apa mau dikata, nasi sudah menjadi bubur.

Kebuntuan komunikasi terjadi karena masing-masing pihak tidak mau mengalah dan memperbaiki diri. Itu bisa juga terjadi karena salah satu pihak sangat arogan, angkuh, dan selalu merasa benar, sehingga pihak lainnya menjaga jarak atau menghindari pertemuan. Kebuntuan komunikasi ibarat fenomena gunung es, yang tampak kecil dipermukaannya, tapi besar di bagian dasarnya. Jika hal itu tidak dibenahi bisa menghancurkan hubungan yang telah dibina. Dogler dan warga banjar melihat masalah ini dari dua sisi yang berbeda. Dogler bersikukuh memperjuangkan hak atas tanahnya terhadap warga banjar tanpa melihat sejarah kekerabatan masa lalu, tanpa toleransi dan tidak mau mengalah sedikitpun. Warga banjar melihat ulah Dogler sebagai pribadi yang kritis, egois dan tidak mau kompromi akan nilai kekerabatan, sehingga hubungan mereka ibarat air dengan minyak yang tidak dapat disatukan. Dalam Hukum Adat yang otonomi, Dogler dibuang dari kelompoknya, disingkirkan dengan cara halus, dengan denda yang sangat besar dan sanksi-sanksi adat lainnya yang memberatkan. Alur komunikasi sudah terlanjur buntu, pihak yang salah tidak pernah mengaku salah dan pihak yang menang akan semakin menindas tanpa maaf.

Untuk mempertahankan keselarasan hidup, masyarakat tradisional cenderung menyelesaikan konflik dengan bermusyawarah, bukan voting. Kesepakatan diambil dari keikhlasan bermusyawarah untuk bersama-sama mencapai titik temu, sehingga masing-masing pihak bisa melihat masalah dari berbagai sisi, yang pada akhirnya masing-masing bisa menyadari dan mengerti perbedaan untuk mewujudkan sebuah persatuan. Bahkan mungkin mereka bisa melihat dan mengambil hikmah, bahwa perbedaan itulah yang bisa memperkuat persatuan. Untuk mencapai tujuan diperlukan kelapangan dada menerima perbedaan dan keluasan cakrawala berpikir untuk menyatukan perbedaan dari berbagai sudut pandang.

Konflik-konflik yang terjadi di tubuh organisasi, apakah antara TNI-POLRI, legislatif- eksekutif- yudikatif, ketua yayasan – rektor, kakak- adik, suami-istri, anak-orang tua, dsb. merupakan hal biasa yang terjadi dalam organisasi dan hubungan antar individu. Asal jangan sampai meluas dan merusak. Jika dampaknya merusak berarti telah terjadi kebuntuan komunikasi. Jika hasilnya menjadi lebih baik dan menguatkan persatuan berarti komunikasi berjalan lancar.

Ibarat masakan, konflik-konflik dalam hubungan manusia dan organisasi merupakan bumbu penyedap yang bisa meningkatkan cita rasa makanan. Tentu saja konflik-konflik itu harus dikelola dengan baik, sehingga rasanya pas dan enak sesuai selera. Kalau konflik tidak dikelola dengan baik, maka masakan akan terasa kelebihan bumbu, sangat pekat dan pedas, sehingga bisa membikin orang yang memakannya muntah dan sakit perut. Sebaliknya jika tidak ada konflik, mungkin tidak akan dicapai suatu kemajuan, karena organisasi sudah mati suri, atau antar manusianya sudah tidak ada hubungan sama sekali. Ibarat sup tanpa bumbu, rasanya seperti air tawar.

Untuk menyelesaikan konflik harus ada komunikasi. Salah satu ilmu komunikasi yang paling penting adalah ilmu mendengar. Sayangnya ilmu mendengar dipandang lebih rendah dari ilmu berbicara. Ketika berbicara kita belajar sangat sedikit, karena hanya mengucapkan apa yang sudah kita ketahui. Ketika mendengarkan, kita bisa belajar sesuatu yang baru sambil memberikan perhatian kepada orang lain.

Plato telah mempelajari hubungan antara mendengarkan dengan belajar. Bahkan dalam tahun pertama di zaman Athena kuno muridnya yang belajar dilarang berbicara, mereka hanya boleh membaca dan mendengar. Kaitan antara mendengarkan dan belajar sangat penting dalam perkembangan hubungan antar manusia dan organisasi. Kalau kita terlalu banyak berbicara, berkomentar dan berdebat, maka sangatlah sedikit kita belajar, belajar tentang diri sendiri dan orang lain. Sebaliknya kalau kita lebih banyak mendengar, berarti kita lebih banyak belajar tentang diri sendiri, orang lain dan keadaan sekitar. Salah satu penyebab kebuntuan komunikasi adalah akibat kurang mendengar.

Dogler dan warga banjar berseteru karena masing-masing berdebat menyuarakan kebenarannya sendiri. Karena sama-sama tidak mendapatkan pelajaran dari berbicara, mereka semuanya mengalami kebuntuan otak dan kebuntuan komunikasi. Semuanya ingin didengarkan dan tidak ada yang mau mendengarkan. Dalam hukum rimba, mereka yang jumlahnya sedikit akan kalah, apalagi seorang diri. Dogler sudah merasakan pahitnya kebuntuan komunikasi. Dia harus terdepak dari komunitas warga banjarnya. Sekarang dia baru belajar mendengar, setelah warga banjar takut berbicara dengannya, karena takut kena denda.

KPO/EDISI 137/2007

Thanks for reading Komunikasi Atau Mati

« Previous
« Prev Post
Next »
Next Post »

0 komentar:

Posting Komentar