Oleh: Wayan Nita
Bali, siapa yang tidak mengenal pulau ini dalam litani pulau-pulau di Indonesia dengan mayoritas penduduk beragama Hindu. Konon, di benak wisatawan manca benua, rasa-rasanya mereka tidak ingin meninggal sebelum bertandang dan pesiar di pulau penyandang aneka sebutan tersebut. Bali i

Sebagian besar wisatawan yang berlibur ke pulau seribu Pura ini, memilih tempat wisata yang menyajikan nuansa berbeda. Mayoritas mereka memilih nuansa tradisional yang sarat Balinese seperti makanan, tempat menginap, tempat belanja hingga tempat wisata. Spanduk, baliho dan iklan Indonesia Year 2008, memang cukup semarak dan dapat didengar, dilihat dan dibaca di berbagai media. Berbagai elemen bangsa berjuang ekstra untuk berebutan wisatawan domestik (wisdom) dan wisatawan manca begara (wisman), untuk plesiran ke Bali. Tetapi dari sekian banyak gebyar program menjaring wisatawan tersebut, perbaikan setiap daerah secara internal kurang terjamah.
Kondisi itu juga yang sedang dan bahkan terus terjadi di Bali. Seiring banyaknya wisatawan yang berkunjung ke daerahini, banyak masyarakat lokal tetap siap-siap menelan pil pahit berupa penggusuran. Mau tidak mau, suka tidak suka, mereka harus merelakan tanah garapan turun-temurun itu untuk ditancapi bangunan tinggi dan mewah dengan beton-beton baja.
Sulit dipungkiri

Berbarengan dengan gema wisata yang digelontor berbagai pihak secara going on itu, seakan kian memacu daya tarik para ‘’wisatawan beton’’ yakni para investor dan pengusaha ke daerah ini. Prof Dr Ir Nyoman Sutjipta, MSc menilai, di satu sisi sektor pariwisata Bali berkembang begitu pesat tetapi pada sisi lain masyarakat Bali hanya jadi penonton dan pembantu di rumahnya sendiri. Di sini, perlu program Pa

‘’Karena rakyat adalah roda penggerak suatu daerah. Selama ini yang dibenahi hanya sektor pendukung kedatangan wisatawan seperti pembangunan hotel-hotel, pertokoan dan restauran di hampir semua tempat wisata, tanpa memperhatikan kelestarian lingkungan sekitar. Segmen pariwisata seperti pertanian dan perdagangan terutama makanan khas daerah hingga masyarakat yang berkesenian juga harus dibina. Rakyat kecil yang dalam hal ini sebagai penggerak wisata yang memang sangat bergantung hidup dari pariwisata Bali, ternyata tidak dapat apa-apa. Dunia pertanian sudah tak mampu lagi menjadi tumpuan hidup. Pemerintah seakan-akan lupa, kalau rakyat kecillah yang tetap dikorbankan untuk mendapatkan keuntungan yang besar,’’ tandas Prof Sutjipta.
Sesuai pengamatan Dosen Fakultas Pertanian Universitas Udayana itu, banyak masyarakat yang bekerja apa saja demi tetap mengepulkan asap dapur. Mereka tidak mau berpangku tangan, bekerja jadi kuli, tukang angkut barang di pasar, pedagang kaki lima hingga pengasong pun siap dilakoni. Tetapi tidak jarang mereka dikejar-kejar petugas karena dianggap pengganggu kenyamanan tamu. Padahal pedagang hanya

Padahal, lanjut Prof Sutjipta, jika masyarakat kecil dibina secara profesional dan disiapkan lapangan pekerjaan dengan dukungan pemerintah dan pengusaha. Pengelolaan pasar malam dibenahi, penyediaan fasilitas umum seperti kamar mandi, pedagang kaki lima dibina dan dibuatkan asosiasi. Mereka disiapkan tempat berdagang, baju seragam dan dibuatkan wadah dagangan seragam. Itu semua agar teratur dan rapi. Dengan begitu baik pengunjung maupun pedagang sama-sama mendapat keuntungan. Wisatawan pasti tidak ragu menikmati makanan yang dijajakan di warung-warung pinggir jalan karena sudah terjamin kebersihan dan kesehatannya.
Di tingkat petani pun harus diberikan pembinaan dan peluang kerja yang juga berhubungan dengan dunia wisata. Misalnya petani diakomodasi untuk menanam sayuran, buah, bunga dan pelbagai kebutuhan pendukung eksisnya sektor wisata Bali. Entah itu untuk keperluan hotel, restauran maupun bidang lain. Juga perlu dukungan pemerintah dan investor untuk tidak serta merta mengimpor semua produk kebutuhan dari luar negeri. ‘’Cukup dengan memanfaatkan hasil bumi yang dikelola petani pribumi. Dengan diberdayakan petani, melimpahnya keuntungan yang diterima pemerintah maupun pihak investor juga tetap dapat dinikmati petani sendiri. Strategi demikian tidak bakal membuat petani Bali merasa kehilangan pekerjaan di tanah kelahirannya sendiri,’’ tambah Prof Sutjipta.
0 komentar:
Posting Komentar