Home » » Promosi Indonesia Lewat Bali

Promosi Indonesia Lewat Bali

Oleh: Praditya Setianugroho*
Saat ini kita harus bertanya seberapa berhasil program Visit Indonesia Year (VIY) 2008 yang dilakukan pemerintah? Sudah adakah perubahan fundamental di ranah persepsi yang terjadi di masyarakat internasional mengenai Indonesia? Indonesia masih saja dikaitkan dengan stigma-stigma konfrontatif dan destruktif sebagaimana yang masih sering kita temui di program-program berita internasional. Pemberitaan mengenai Indonesia, tak lain dan tak bukan, adalah berita tentang Insiden Monas pada 1 Juni lalu, konflik horizontal yang terjadi karena pembubaran aliran Ahmadiyah, hingga analisis mengenai penyerbuan aparat di Universitas Nasional beberapa hari kemarin. Sungguh, sangat langka untuk menemukan berita positif tentang Indonesia—di luar feature—pada saluran-saluran seperti Asiana, BBC, CNN, Al-Jazeera, hingga ke VOA dari Amerika Serikat.
Negara kita sudah sangat dekat dengan ekstrimisme dan kekacauan sosial yang fundamental. Langkah pemulihan harkat dan martabat bangsa Indonesia adalah dengan jalan mengomunikasikan kembali Indonesia. Di satu sisi, Indonesia yang indah, asri, dan eksotis juga akan sulit kita promosikan kembali ketika banyak sekali film dokumenter yang dibuat justru mempertontonkan secara eksplisit parahnya kerusakan lingkungan yang kita miliki sebagai ekses pembangunan yang tidak berjangka panjang.
Langkah yang ditempuh Jero Wacik di Kementerian Pariwisata & Kebudayaan melalui Visit Indonesia Year 2008 merupakan langkah konkret untuk mengomunikasikan kembali Indonesia di ranah internasional melalui medium pariwisata. Tetapi, akankah kita sendiri siap untuk menjadi bagian dari masyarakat sadar pariwisata ketika kita sendiri masih tergagap untuk bisa membuang sampah pada tempatnya?
Beberapa kelemahan di atas bisa ditambal dengan mengeksplorasi potensi positif yang ada secara optimal dan mengomunikasikannya ke sebanyak mungkin orang dengan jangkauan luas tanpa harus mengeluarkan banyak ongkos. Sayangnya, idealisme hampir semua klien di Indonesia tersebut harus berbenturan dengan “tradisi” birokrasi yang bermental proyek. VIY 2008 menjadi “macan ompong” justru ketika masyarakatnya sendiri tidak mampu memberikan dukungan optimal untuk mewujudkannya. Apakah sebagian besar bangsa Indonesia tahu jika tahun ini merupakan tahun kunjungan?
Jawabannya so pasti tidak. Karena mereka tidak pernah diperhitungkan sebagai komunikan primer dalam proses komunikasi VIY 2008. Akankah kampanye ini berhasil tanpa memberikan proporsi yang komprehensif bagi stakeholder terutama dalam kontruksi bangsa Indonesia untuk mengetahui dan memahaminya?
Sebenarnya, semua itu tentu saja bisa diakali dengan menempatkan komunikasi pemasaran VIY 2008 tersebut ke bagian bangsa ini yang sudah menjadikan pariwisata sebagai bagian dari kehidupan mereka. Siapa mereka? Tentu saja komunitas Bali yang terus berusaha untuk mempertahankan diri sebagai daerah tujuan wisata terfavorit kelas dunia. Mereka sudah menyatukan napas, pemikiran, dan perilaku mereka ke dalam sebuah industri bernama pariwisata. Jadi, mengaitkan VIY 2008 dengan masyarakat Bali adalah sebuah solusi yang tepat untuk “menyelamatkan” rapor VIY 2008 di mata masyarakat domestik maupun internasional. VIY 2008 memang tidak sekadar Bali, tetapi Bali adalah sebuah feeder yang efektif untuk memperkenalkan (kembali) Indonesia melalui ranah pariwisata.
Logika yang digunakan adalah logika para manajer properti yang mengelola gedung pusat perbelanjaan di Jakarta dan beberapa kota besar lainnya. Suatu pusat perbelanjaan akan ramai dan dipadati pengunjung ketiak anchor tenant di dalamnya adalah hypermarket seperti Carrefour, Hypermart, ataupun Giant. Merekalah yang bertugas menggaet pengunjung dan mendistribusikannya ke gerai-gerai lainnya di dalam pusat perbelanjaan tersebut.
Hal serupa tentu saja berlaku di dunia pariwisata. Bagi wisatawan yang memiliki pengetahuan terbatas mengenai Indonesia, belum tentu mereka mengenal Jogjakarta, Jakarta, atau bahkan Danau Toba. Yakinlah, popularitas Bali sebagai sebuah pilihan pariwisata akan mengalahkan popularitas Jakarta sebagai ibukota Republik Indonesia yang identik dengan konflik-konflik yang setiap hari bersumber dari kota tersebut. Pameo negatif: Indonesia itu di mananya Bali? Ini mengindikasikan sebuah tingkat kepercayaan yang tinggi terhadap Bali ketimbang Indonesia sebagai payung darinya.
Mengomunikasikan (kembali) Indonesia tentu saja membutuhkan sebuah kendaraan yang fokus dan mujarab untuk menyampaikannya kepada publik secara luas. Jika kenyataan faktual hari ini berbicara Bali adalah bagian dari Indonesia yang paling banyak dikunjungi oleh orang asing, mengapa kita tidak fokus untuk mengomunikasikan (kembali) Indonesia kepada mereka? Mereka (wisatawan asing) setidaknya telah memiliki ragam pengetahuan yang cukup ketika memutuskan Bali sebagai destinasi wisata mereka. Orang dengan pemahaman kesadaran yang positif, ditambah dengan pengalaman yang berkesan selama berinteraksi, tentu saja akan lebih mudah untuk membangun citra positif tentang hal lain yang berkaitan ketika kita mengomunikasikannya dengan tepat?
Ketika berwisata di Bali, mereka kebanyakan akan memiliki perasaan yang positif dengan pulau Dewata ini. Meskipun pesona pantai-pantai di Bali semakin memudar akibat berbagai sebab, tetap saja Sanur, Kuta, dan Nusa Dua masih menyimpan eksotisme tersendiri bagi siapapun yang menjejakkan kaki di Bali. Tidak ke Bali bila tidak menikmati nyamannya berjemur dan bermandi matahari di pantai-pantai tersebut. Inilah pengalaman-pengalaman yang harus secara jeli dioptimalkan untuk membuat mereka semakin terkesan dengan Pulau Bali. Dan Bali relatif berhasil mewujudkan itu semua.
Memperkenalkan (kembali) Indonesia melalui Bali sebenarnya perkara gampang. Ketika mereka sudah datang untuk kedua, keempat, bahkan kesebelas kali ke Bali, mereka tentu saja akan bertanya apa lagi yang bisa dieksplorasi di Bali. Inilah saat untuk memperkenalkan Bali-Bali yang lain yang dimiliki Indonesia. Lombok, eksotisme baru di timur Bali, sudah membuktikannya. Bukan tidak mungkin, ketika semuanya mencontoh bagaimana Bali menggarap pariwisata, kita bisa memperkenalkan seorang Denmark yang bertandang ke Bali untuk melanjutkan terbang ke Tana Toraja. Atau seorang Jepang dari Denpasar kemudian melanjutkan perjalanan ke Minangkabau. Bahkan, menikmati eksotisme keaslian alam Papua seusai menikmati hempasan angin pantai di Kuta. Semuanya mungkin ketika kita memperkenalkannya dari Bali dan menggarapnya sebagai bagian dari kelanjutan Bali.
*) Pekerja Komunikasi Pemasaran pada GONGProduction Indonesia, tinggal di Semarang.
Thanks for reading Promosi Indonesia Lewat Bali

« Previous
« Prev Post
Next »
Next Post »

0 komentar:

Posting Komentar