Home » » Mensinergikan Perbedaan Sosial

Mensinergikan Perbedaan Sosial

Oleh: Mohamad Fathollah*
Anarkisme parsialis yang dilakukan oleh kelompok tertentu di Indonesia sudah menjadi potret umum yang jauh dari realitas multikulturalisme. Perpecahan antarkelompok, pertikaian antarsuku, dan penghinaan antaragama sudah menjadi penyakit akut yang melanda negeri majemuk ini.
Sejatinya kehidupan sosial masyarakat Indonesia yang mejemuk ini dapat dikembangkan menuju ke arah living equilibrium (keseimbangan sosial) yang menyejahterakan, mendamaikan, dan membebaskan. Lagipula keanekaramaan sosial yang ada di Indonesia adalah ciri khas yang harus dipertahankan dan dijaga supaya sendi-sendi kehidupan yang lain, seperti kehidupan sosial, politik, ekonomi, budaya, dan bahkan agama, akan teratur dan seimbang. Oleh karena itu tolak ukur kesejahteraan rakyat baik secara ekonomi dan sosial mengacu pada kesejahteraan perbedaan (keberagaman dan keberagamaan) yang ada di Indonesia. Apabila terdapat api dalam keberbedaan itu, niscaya lumbung besar Indonesia raya yang berpedoman pada Pancasila akan runtuh seiring dengan perputaran jaman.
Indonesia negara yang besar apabila bangsanya saling menghormati dan menghargai sebuah perbedaan. Karena kebesaran negara Indonesia bukan dari segi geografisnya dengan ribuan pulau, atau keanekaragaman hayati, namun lebih pada kebesaran yang ditimbulkan oleh bangsa yang majemuk. Sejatinya perbedaan ras, suku, bahasa, agama menjadi kontrol sosial agar dapat meminimalisir konflik. Namun apabila antara kelompok satu dengan lainnya menghendaki kebenaran menurut cara pandang mereka, maka Indonesia selalu saja akan terjerat oleh pertikaian dan permusuhan.
Apabila hal tersebut tidak diakomodir dengan baik dan bijak, maka energi bangsa ini terkuras dengan konflik antar suku, etnis, bahkan agama. Kenyataan tersebut nyata kontras dengan dasar negara Indonesia yang menjunjung tinggi nilai, harkat dan martabat bangsa yang berbeda-beda. Pertikaian atau konflik dalam negara kesatuan Indonesia ini telah muncul sejak masa kerajaan. Akar konflik adalah atas nama kepentingan (interest) oknum ataupun salah satu kelompok tertentu.
Secara sosiologis pertikaian tidak dapat dielakkan dalam kehidupan multikultural. Seperti halnya di Indonesia, dewasa ini perpecahan dan pertikaian antar kelompok mendominasi atas kepentingan politis perorangan atau kelompok tertentu. Kalau ditinjau dari teori konflik bahwa pertikaian yang terjadi di tengah-tengah masyarakat plural dapat ditarik benang merahnya di dalam dua hal yaitu melihat masyarakat sebagai sekumpulan bagian yang disatukan bersama oleh kekuasaan sosial serta kemampuan untuk mengendalikan perilaku orang lain melawan keinginan mereka.
Menurut Collins (1994), pertikaian antar etnis, suku, dan agama berakar pada sifat arogansi dan dominasi yang ada dalam masyarakat multikultural. Sebab dominasi pada gilirannya menimbulkan isyarat potensi konflik antara mereka yang menerima keuntungan dari kekuasaan dan mereka yang tidak mendapatkannya. Misalnya, orang kulit putih secara historis telah mendominasi orang non-kulit putih, dan laki-laki telah mendominasi wanita. Pada masing-masing kasus, kelompok yang dominan telah menggunakan kekuasaannya untuk memperoleh keuntungan dengan mengorbankan kelompok yang lebih rendah.
Menciptakan Dialog
Kita kerap terjebak dengan asumsi yang menyebutkan bahwa di dalam bentuk kebangsaan yang multikultural pertikaian dan konflik antar oknum pasti tidak akan ditemukan ujung pangkalnya. Walaupun secara sosiologis masyarakat yang majemuk sangat rentan dengan konflik tidak berarti bahwa konflik tidak dapat diredakan dan menjadi sehat apabila kita mengelola dengan bijak. Dialog menjadi syarat mutlak bagi terbentuknya bangsa yang baik dan lunak dari konflik sosial.
Menurut Gademer, seperti yang dikutip Mega Hidayati (2008: 117) dalam buku Jurang di Antara Kita (Tentang Keterbatasan Manusia dan Problem Dialog dalam Masyarakat), bahwa dialog tidak ditujukan untuk mendukung opini kita sendiri. Sebaliknya, dialog membuat kita menguji kembali dan melihat kembali opini milik kita. Pertanyaan-pertanyaan dalam dialog benar-benar ditujukan untuk mengarahkan partisipan pada pandangan yang lebih baik, sehingga klarifikasi pemahaman kita terjadi. Oleh karena itu, setelah terlibat dalam dialog, masing-masing paritisipan akan memperbaiki dirinya sendiri.
Prof Dr Bernard AR mengatakan bahwa kunci untuk berdialog dengan orang yang berbeda dari kita bukanlah rasionalitas, melainkan kesadaran tentang keterbatasan kita masing-masing. Sebab jurang di antara kita tidak dijembatani oleh rasionalitas universal atau ideologi tunggal, melainkan melalui dialog di antara orang-orang yang memiliki tradisi, kepercayan, keyakinan, dan prasangka masing-masing, tetapi siap mengakui keterbatasan masing-masing.
Kita sebagai bangsa yang berprikemanusiaan akan teruji dan diukur sejauh mana kita legowo dan bertanggung jawab terhadap realitas sosial yang ada di sekitar kita. Sehingga perbedaan tidak akan menjadi kunci pertikaian di kemudian hari. Karena, seperti yang katakan Dr John Raines, bahwa sebuah ajakan pada dialog antarperadaban untuk masuk mewujudkan perdamaian yang mensyukuri keberbedaan, perdamaian merupakan buah karya keadilan.
*) Peneliti di Center for Social and Democracy Studies, FISHUM UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Thanks for reading Mensinergikan Perbedaan Sosial

« Previous
« Prev Post
Next »
Next Post »

0 komentar:

Posting Komentar