Home » » Bersama Bisa Memacu Kemiskinan Dan Politik Simbolis

Bersama Bisa Memacu Kemiskinan Dan Politik Simbolis

Oleh: Nandar Suryadarna*
Salah satu tugas pemerintah adalah membuat dan menjalankan kebijakan untuk menyejahterakan rakyat. Pemerintah dituntut kreatif dan inovatif dalam membuat kebijakan yang aplikatif. Tetapi kreativitas dan inovasi dalam mengatasi masalah kemiskinan, ternyata nyaris nihil. Antara lain nampak pada program bantuan langsung tunai (BLT) yang sekarang masih dipakai, seperti halnya saat kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) pada Oktober 2005.
BLT yang kini menjadi BLT Plus merupakan kompensasi kenaikan harga BBM sebesar 28,7% mulai 24 Mei 2008. Selain gula dan minyak goreng, nilai uang BLT Plus hanya Rp 100 ribu per satu keluarga untuk sebulan hingga akhir 2008. BLT Plus ditujukan bagi keluarga sangat miskin. Diharapkan program ini dapat membantu masyarakat sangat miskin yang paling terkena dampak kenaikan harga BBM, meskipun dengan menaikkan harga BBM pemerintah bisa meningkatkan angka pengangguran dan kemiskinan, sehingga telah mengundang banyak demonstrasi besar-besaran di berbagai penjuru Tanah Air.
Pemerintah menggulirkan BLT Plus, tapi masyarakat miskin juga mengerti bahwa kenaikan harga BBM selalu diiringi kenaikan harga sembilan bahan pokok. Sementara itu nilai BLT plus tersebut sangat tidak sebanding dengan berbagai dampak buruknya baik sebelum maupun sesudah kenaikan harga BBM. Ditambah lagi dampak buruk pada kenaikan biaya transportasi, di samping meningkatkan kriminalitas karena kenaikan harga BBM akan mengakibatkan pengangguran dan kemiskinan semakin tinggi. Pembagian BLT pun sering memicu konflik sosial. Tidak mengherankan banyak pihak yang menolak program BLT Plus.
Politik simbolis
Walhasil, BLT Plus seolah-olah saja bisa menyejahterakan masyarakat miskin, padahal itu merupakan logika tanpa hati nurani yang menyesatkan pikiran. Seolah-olah pemerintah “berani berbuat berani bertanggung jawab.” Seakan-akan kebijakan pemerintah berpihak kepada rakyat, karena pemerintah memberikan bantuan kepada masyarakat miskin. Gejala “seolah-olah” ini tidak berbeda saat penguasa jaman Orde Baru berucap bahwa harga BBM tidak dinaikkan tetapi hanya disesuaikan saja agar seolah-olah harga BBM bukan dinaikkan.
Perilaku sebagian elit politik menjelang Pemilu 2009 yang bisa membohongi rakyat perlu diwaspadai. Mereka semakin gencar membangun pencitraan diri seperti yang dilakukan pasangan SBY-JK ketika kampanye pada pilpres yang lalu. Beragam model pencitraan diri adalah sebagai politik simbolis (the politics of symbolism). Politik simbolis merupakan representasi dari sebuah gejala sosial --kemiskinan, kriminalitas, pengangguran dan lain sebagainya-- yang diwujudkan secara simbolis guna merefleksikan makna politik tertentu.
Realitas kehidupan kelam yang sudah lama diderita rakyat Indonesia ini berawal sejak hadirnya manajemen pengelolaan negara yang tidak berpihak pada rakyat, tanpa rasa keadilan dan kejujuran. Topeng kepura-puraan pun diwarnai dengan gejala "seolah-olah", yang merupakan bagian penting dari politik simbolis. Akibatnya praktik kehidupan berbangsa serta bernegara bersifat hipokrit, sarat penyelewengan, intrik, dan korupsi.
Banyak politisi membangun negara dengan fundamental ekonomi yang seolah-olah kuat, politik yang seolah-olah stabil, pejabat yang seolah-olah bersih dan kompeten, politikus yang seolah-olah negarawan dan berpihak pada rakyat, pengusaha yang seolah-olah captains of industry, para ahli hukum yang seolah-olah pendekar keadilan, tersangka koruptor senyum-senyum agar seolah-olah tidak bersalah, dan lain sebagainya.
Geertz telah menyoroti dua kelemahan politik simbolis. Pertama, penggalangan solidaritas kerakyatan tidak sama-sebangun dengan ide serta cita-cita untuk mewujudkan kesejahteraan berwatak populis dan berorientasi kerakyatan. Kedua, politik simbolis tidak terpuji, karena tujuan utamanya bukan untuk menolong rakyat (miskin) pemilihnya, melainkan menjadikannya sebagai suatu subjek (termasuk rakyat) dan medium untuk membangun pencitraan dalam rangka memobilisasi dukungan politik. Celakanya, ketika kekuasaan sudah tergenggam, para pemimpin yang haus pencitraan itu bersama bisa untuk tidak menepati janji-janji mereka.
Politik "seolah-olah" dari para pemimpin merupakan racun bagi bangsa, rakyat dan negara. Secara psikososial, inilah yang oleh Erich Fromm disebut the pathology of normalcy, penyakit yang tidak disadari lagi karena dianggap sebagai suatu kewajaran. Untuk mengkritisi kenaikan harga BBM jangan selalu dipercayakan pada elit kekuasaan. Selain itu, minimal perjuangan kita harus terarah pada usaha untuk memberdayakan gerakan-gerakan masyarakat tanpa perlu memicu revolusi sosial.
Mendukung gerakan antikemiskinan
Kucuran anggaran dari Aggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk orang miskin tidak akan berpengaruh signifikan terhadap pemberantasan kemiskinan, kecuali jika terdapat sikap keberpihakan secara konkret terhadap masyarakat miskin. Implikasinya, gerakan antikemiskinan oleh negara harus disertai dengan gerakan melawan mentalitas serakah dan politik “seolah-olah” di antara para pejabat pemerintah serta orang-orang kaya.
Salah satu faktor penyebab kemiskinan masyarakat ialah meruyaknya mentalitas kapitalistik-materialistik dan politik “seolah-olah” (kepura-puraan) dari kaum elit politik dan kekuasaan. Beberapa kasus membuktikan, di balik wacana “pemihakan terhadap kaum miskin”, sebagian elit bersama bisa memanfaatkan peluang ini --dengan mengelabuhi orang miskin-- untuk menumpuk kekayaan secara ilegal. Juga penggelapan bantuan dana untuk masyarakat miskin oleh oknum pejabat, bahkan sebagian warga berkecukupan pun bersikap seolah-olah hidup miskin agar bisa menilep bagian BLT dari jatah orang melarat.
BLT Plus tidak efektif, bahkan pemerintah bisa meninabobokan masyarakat miskin. Kita mendukung gerakan antikemiskinan dengan 3 langkah. Pertama, memberdayakan kreativitas/produktivitas kaum miskin. Bila Auguste Comte dan E Durkheim mengatakan kemiskinan sebagai akibat kultur/mentalitas orang miskin yang tak bisa beradaptasi terhadap tatanan sosial yang ada, maka kita juga perlu mengadopsi pendapat Fredrich August von Hayek bahwa kultur kaum miskin harus diubah melalui pendidikan berkualitas dengan pembiayaan negara.
Kedua, menghapus diskriminasi terhadap orang miskin dengan memahami kesetaraan harkat antara pejabat kaya dan orang miskin terkait hak serta kewajibannya sebagai masyarakat bangsa. Orang miskin pun layak dan harus diposisikan sebagai “subyek pembangunan”. Ketiga, membasmi perilaku koruptif para elit politik dan kekuasaan. Para penegak hukum jangan bersama bisa memproses tersangka koruptor dengan modus “seolah-olah”, tetapi harus benar-benar menindaknya secara tegas, adil, dan tanpa pandang bulu.
*) Pemerhati masalah sosial-politik, alumnus Ohio University, Amerika Serikat, tinggal di Depok.
Thanks for reading Bersama Bisa Memacu Kemiskinan Dan Politik Simbolis

« Previous
« Prev Post
Next »
Next Post »

0 komentar:

Posting Komentar