Home » » Mencermati Pemimpin Model Iklan

Mencermati Pemimpin Model Iklan

Oleh: Tatik Chusniyati*
Sejumlah elite politik kini berlomba-lomba memanfaatkan media massa dengan memasang berbagai iklan politik. Mulai dari iklan sikap kritis terhadap pemerintah, sampai sekedar iklan yang menjual citra pribadi. Mereka menghambur-hamburkan uang miliaran rupiah untuk mengejar popularitas.
Yang paling menonjol adalah Ketua Umum DPP Partai Amanat Nasional (PAN) Sutrisno Bachir yang iklannya mendominasi media cetak dan elektronik nasional. Tokoh lain yang juga latah beriklan adalah Ketua Umum DPP Partai Hanura, Wiranto. Ia lebih menjual isu kemiskinan dan penolakan harga BBM sebagai saluran iklan politiknya. Hal serupa juga dilakukan Prabowo Subianto sebagai Ketua Umum Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI).
Maraknya iklan politik di media massa yang mengambil momentum peringatan 100 Tahun Kebangkitan Nasional, itu patut dicermati. Menurut Kastorius Sinaga, sosiolog UI, kontes popularitas di kalangan elite sesungguhnya proses pembodohan masyarakat. Itu sebabnya, agar masyarakat tidak lagi terjebak memilih seorang pemimpin hanya berdasarkan popularitas yang dibentuk industri media semata.
Selain itu, seorang pemimpin yang dikarbit oleh iklan belum tentu memiliki karakter seorang tokoh. Sifat ketokohannya biasanya bergantung pada kedudukan saat menjabat kekuasaan, bukan karena bakat dan keahlian. Sebab pemimpin macam ini seringkali tidak mempunyai sifat sungguh-sungguh dalam menepati janji-janjinya kepada rakyat bahkan kepada para pendukungnya sendiri.
Karena itu, ketika pemimpin model iklan sudah berakhir masa kekuasaannya, maka berakhir pula ketokohannya. Orang lain akan segera melupakannya dan tidak mengharap lagi mendengar janji-janji apalagi slogan-slogannya. Akhir karir politiknya biasanya tidak meninggalkan karya apa-apa, baik berupa gagasan demi membenahi kehidupan bangsa atau sikap keteladanan yang bisa dijadikan panutan.
Ketika pemimpin model iklan jadi dilantik menjadi presiden, menteri, gubernur, walikota, bupati, misalnya, maka media pun sibuk menyiarkan berita ‘kebijaksanaannya’, padahal belum terbukti keberhasilannya untuk mengukur kebijaksanaannya itu. Ilustrasi ketokohannya semata-mata dibentuk oleh koran, televisi, atau radio. Meski beberapa tahun menduduki jabatan, tidak ada buah pikiran yang bisa dimanfaatkan orang lain. Jika dia berpidato, naskahnya ditulis orang lain. Dia sendiri tidak mampu berpidato membahas soal-soal kebangsaan secara mendalam tanpa teks yang disusun oleh stafnya. Sementara ucapannya sendiri sama sekali hambar dan tidak memberi gagasan apa pun.
Ini berbeda dengan pemimpin yang memang memiliki sifat-sifat ketokohan sejati. Sifat ketokohannya betul-betul timbul dari akar kepribadiannya, bukan karena media yang mengorbitkannya. Sepak terjang pemimpin sejati akan menjelmakan manfaat jangka panjang baik semasa hidup maupun setelah meninggal dunia.
Pemimpin sejati akan menawarkan narasi besar dan menunjukkan capaian-capaian yang dapat menjadi ukuran kepemimpinan bagi generasi-generasi berikutnya. Pemimpin jenis ini akan terus berjuang untuk kemaslahatan rakyat, baik saat memegang kekuasaan atau tidak. Dia akan terus-menerus mengabdi seumur hidupnya. Ambil misal, tokoh pemimpin yang bisa dijadikan ukuran di negeri ini seperti Pangeran Diponegoro, Haji Oemar Said Tjokroaminoto, Soekarno, Hatta, Syahrir serta beberapa tokoh sejati lainnya.
Sekadar contoh, seorang Soekarno mulai memikirkan persoalan-persoalan bangsa bukan sejak beliau menjadi presiden. Malah belasan tahun sebelumnya Bung Karno sudah berpidato di sana-sini, menulis di sana-sini, membincangkan nasib bangsa, dan memandu pemikiran rakyat dalam berbagai kesempatan. Ini tentu sangat berbeda dengan para elite belakangan ini yang banyak ngomong nasib rakyat hanya pada saat menjelang pemilu.
Persoalannya, mengapa sebagian elite mendadak menjadi peragawan politik? Beragam jawaban bisa diberikan. Tetapi yang cukup valid adalah bertujuan untuk mengenalkan diri sang tokoh. Tujuan ini mungkin bisa dibilang efektif. Namun, kalau tujuannya demi pencitraan diri dan agar masyarakat memilih dia pada pemilu mendatang, iklan politik tersebut belum tentu tepat sasaran.
Masyarakat sekarang sudah melek politik dan mengerti siapa yang layak jadi pemimpin. Mereka tidak akan memilih pemimpin cuma karena ketenaran, tapi miskin perbuatan. Kita sekarang butuh pemimpin sejati yang teruji kemampuan eksekusinya sehari-hari. Toh jika nantinya yang terpilih adalah pemimpin model iklan, rakyat tidak akan mudah percaya dengan pemimpin yang penuh kebohongan.
Walhasil, sesungguhnya sejarah manusia dapat dilihat sebagai pertarungan antara dua jenis tokoh di atas. Andai tokoh-tokoh model iklan berhasil menguasai negara, itu karena masyarakat tidak cukup berusaha untuk mencegahnya, atau masyarakat memang sering lupa tentang sifat-sifat kepemimpinan yang betul-betul mereka perlukan.
*)Pengajar Ma’had Abdurrahman bin Auf Unmuh Malang
Thanks for reading Mencermati Pemimpin Model Iklan

« Previous
« Prev Post
Next »
Next Post »

0 komentar:

Posting Komentar