Home » » Tantangan Pariwisata Itu Bernama Konflik

Tantangan Pariwisata Itu Bernama Konflik

OLEH: INDAH WULANDARI
hadni_wulan@yahoo.co.id
Pariwisata Inti Rakyat (PIR) tidak hanya sebatas usaha pemberdayaan masyarakat. Manajemen pengelolaan infrastruktur, SDM dan penanggulangan konflik sangat diperlukan. Fakta ini terkuak dalam Seminar Gerakan Pariwisata Inti Rakyat di Hotel Puri Ayu Denpasar, akhir Mei lalu. Tampil sebagai pembicara para penerima Adam Malik Award, Prof H Kenna Muhammad Aini Matseman Usop, MA, Dra Sientje Sondakh Mandey, Dra Ida Ayu Agung Mas dan Dr Sutiyoso, SH.
Direktur Eksekutif The Adam Malik Center, Helmi Raja Marpaung menjelaskan, seminar tersebut diadakan bersamaan dengan penyerahan penghargaan kepada 12 tokoh masyarakat yang berperan menyelesaikan persoalan bangsa serta memperingati 100 tahun Kebangkitan Nasional. Selain diberikan kepada para pembicara, Gubernur NTT Pietter A Tallo, SH juga mendapat Adam Malik Award 2008. Pria asal Soe, TTS ini dinilai berhasil meredam konflik ketika menampung warga pengungsi di Atambua pasca jajak pendapat di Timor-Timur tahun 1999.
Ternyata ada mata rantai di antara topik seminar dengan masalah yang ditekuni para pembicara. Ida Ayu Agung Mas, penggagas pariwisata inti rakyat Bali menilai, fenomena pengembangan kawasan pariwisata di Bali pada 1980-an melahirkan ketimpangan dalam proses transformasi budaya asli Bali dan budaya luar (asing). Karena itulah, ia coba merangkul pemerintah dan masyarakat pedesaan untuk membangun sentra wisata yang lebih merakyat. SDM yang dibina berasal dari daerah sekitar tanpa melepas nilai kearifan lokal. Proyek SUA Bali pun dianggap berhasil mengangkat perekonomian warga sekitar di desa Kemenuh, Gianyar.
Berbeda dengan konsep mantan Gubernur DKI Jakarta, Sutiyoso. Ketika masih berkuasa, Sutiyoso mengedepankan peningkatan sarana dan prasarana transportasi. Proyek pengadaan busway yang menghubungkan trayek kota Jakarta mampu menjual wisata tengah kota seperti cagar budaya, museum dan obyek rekreasi lain. Para wisatawan domestic dan manca negara, sebut Sutiyoso merasa amat nyaman dan terbantu karena terhindar dari kemacetan ibukota.
Manajemen penanganan konflik dan masalah sosial lain tak kalah penting sebagai pendukung eksisnya pariwisata inti rakyat. Transisi politik, pemerintahan dan konflik antar etnik jadi sumber konflik terbesar. ''Konflik yang terjadi karena interaksi antar individu maupun kelompok diselesaikan secara tertutup. Namun, keberadaan konflik bersifat dualisme. Ia bisa mengundang minat wisatawan untuk melihat area bekas konflik atau malah jadi penghambat perkembangan pariwisata," tegas KMA Matseman Usop.
Sementara Sientje Sondakh Mandey lebih melihat perkembangan pariwisata global sebagai tanda waspada bagi masyarakat. Hal itu penting disikapi karena jaringan mafia trafiking siap memanfaatkan mobilitas tenaga kerja dari desa ke kota.
Apalagi, menurut penggerak PKK Sulawesi Utara ini, sistem patriarkhi masih kental dalam budaya nusantara. Sientje sendiri selalu berusaha untuk meningkatkan kemampuan dan ketrampilan kaum perempuan agar bisa berkarya dan berprestasi sebagai usaha penguatan moral iman serta lembaga rumah tangga. Karena kepeduliannya, Sientje ditunjuk sebagai Ketua Panja RUU Anti Trafiking. Diharapkan, semua permasalahan bangsa Indonesia yang masih tertumpuk bisa diselesaikan sesuai target di tahun 2015. Pasalnya, hampir semua negara ASEAN sudah mencapai tahap recovery (pemulihan) dengan bertumpu pada sektor pariwisata.
Thanks for reading Tantangan Pariwisata Itu Bernama Konflik

« Previous
« Prev Post
Next »
Next Post »

0 komentar:

Posting Komentar