Home » » Sua Bali, Dulu Dan Sekarang

Sua Bali, Dulu Dan Sekarang

Oleh: Heni Kurniawati
Sekitar 20 tahun silam, mayoritas warga Desa Kemenu, Sukawati, Gianyar bekerja sebagai buruh tani. Dari Denpasar, dibutuhkan waktu satu jam untuk tiba di wilayah yang dulu lebih identik dengan daerah terisolir, terkategori desa miskin dan tertinggal. Seiring glamoritas berbagai aspek pembangunan khususnya sektor pariwisata, perubahan demi perubahan terjadi. Sekitar tahun 1980, hadir seorang wanita idealis dan cerdas untuk merubah image yang disandang desa tersebut.
Fakta tersebut menggugah seorang Dra Ida Ayu Agung Mas, untuk turun tangan untuk coba menggerakkan kehidupan perekonomian lewat pariwisata inti rakyat. Konsep yang diusung wanita yang diakrabi Dayu Mas itu berwujud pada pendirian sebuah villa berkonsep tradisional Bali. Itulah Sua Bali. ‘’Tujuan saya untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat desa Kemenuh agar lebih baik dan terbuka menerima kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Sua Bali hadir untuk membantu masyarakat desa setempat agar memiliki wawasan dan aktivitas perekonomian,” jelas anggpta DPD RI dari Bali itu.
Bangunan yang dirancang dengan mengaca pada teknologi konstruksi bernuansa tempo dulu itu, memiliki 11 kamar buat para pelancong. Suasana yang sejuk, aman, nyaman dan damai sangat kental menyatu dengan alam sekitarnya yang ditanami aneka tanaman obat Percikan air sungai, suara khas serangga dan kicauan burung seakan menjadi teman kala bersantai di bale bengong. Sebuah situasi alami yang sangat sulit ditemui di kota-kota besar nan metropolis.
Sebagai villa, Sua Bali ternyata lebih berperan sebagai arena dan jembatan bagi terciptanya pertukaran budaya. Para pekerja diberi kesempatan untuk menempah diri dengan ilmu pengetahuan, terutama bahasa asing yang didapat dari para turis asing yang menginap. Karena dianggap strategis, Sua Bali menggelar kursus bahasa Inggris secara gratis kepada kaum muda Kemenuh yang berminat. “Selain mendapatkan, Sua Bali juga memberdayakan masyarakat agar lebih berilmu dan berwawasan. Sua Bali sebagai tempat pertukaran budaya desa Kemenuh dengan budaya asing. Masyarakat mengajar cara membuat banten dan menari kepada turis. Pemuda dan pemudi Bali mendapat pelajaran bahasa Inggris,” jelas Dayu Mas.
Karena itu, sebut Dayu Mas, dirancang ruang khusus sebagai tempat diskusi yang mengadopsi ide dari raja Inggris, Arthur dengan meja bundar berkapasitas delapan orang. ‘’Di tempat ini saya sering menghabiskan waktu bersama teman-teman ataupun tamu untuk diskusi tentang berbagai hal menyangkut pariwisata inti rakyat Bali,’’ kata Dayu Mas.
Belum Mengakar
Kemegahan bangunan hotel-hotel dari kelas teri sampai berbintang lima plus bisa disaksikan di berbagai tempat di Bali. Pada sisi lain, masyarakat kecil yang tinggal di desa-desa kian tergerus akibat belum mengakarnya virus-virus pariwisata hingga tingkat terbawah. Gema pariwisata, menurut Dayu Mas, hanya permainan tinggi dengan guliran dana investasi pemilik modal. Sebagai contoh, ketika terjadi tragedi bom Bali, masyarakat kecil yang memikul penderitaan terparah, baik secara psikologis, ekonomis maupun finansial.
Pariwisata Bali yang cukup rapuh itu, sebut Dayu Mas, harus segera dibenahi. Selama ini, program kepariwisataan Bali lebih fokus pada sektor perekonomian dengan membuat segelintir orang yang bisa bertahan. ‘’Konsep pariwisata Bali harus diubah menjadi pariwisata inti rakyat. Rakyat tidak hanya menerima perubahan tanpa menerima hasil. Rakyat harus diberikan wawasan dan informasi mengenai adanya silang budaya agar tidak mengalami culture shock. Pariwisata harus mengakar ke bawah dan berintikan rakyat. Rakyat yang harus lebih dominant diperhatikan bukan investor yang kadang mengabaikan hal–hal penting seperti pola hidup rakyat sehingga tidak terjadi jurang pemisah antara desa dan kota,” tegas Dayu Mas.
Dalam arti luas, sebagai penopang eksisnya pariwisata Bali, mutlak dibangun sumber ekonomi pariwisata pedesaan sehingga mudah dalam pemberdayaan masyarakat desa. Di Sua Bali, setiap wisatawan yang menginap di villa itu, 1 US$ tetap disumbangkan ke kas desa. “Sua Bali juga ingin menyelesaikan rekonsiliasi pada masyarakat agar tidak terperangkap pada budaya sendiri sehingga mampu menerima budaya luar untuk diadaptasikan dengan budaya sendiri. Agar silang budaya dapat diterapkan maka Sua Bali menghimpun masyarakat pemuda dan pemudi agar memiliki pemikiran yang lebih berkembang dan terbuka. Banyak anak muda yang memiliki usaha sendiri denagn menjadi pemahat atau pematung,” ungkapnya.
Thanks for reading Sua Bali, Dulu Dan Sekarang

« Previous
« Prev Post
Next »
Next Post »

0 komentar:

Posting Komentar