Home » » Hutang

Hutang

Di tengah gempuran iklan dari berbagai lini dan berbagai fasilitas kredit yang mengiming- ngimingi masyarakat oleh penjaja kartu kredit dari pintu-ke pintu, membuat gaya hidup mewah yang selalu diimpikan masyarakat menjadi semakin mudah. Dari sisi positif, fasilitas kredit yang diberikan oleh lembaga keuangan bisa memudahkan hidup. Kita cukup membayar uang mukanya dengan potongan diskon dan bonus, maka sepeda motor baru, mobil baru, HP baru, alat elektronik baru sudah bisa dipakai dan dibawa pulang. Tapi harus selalu diingat bahwa kita harus rajin membayar cicilan setiap bulannya sampai lunas, kalau tidak maka barang pasti ditarik secara ikhlas maupun paksa. Bahkan untuk menutupi gengsi, harga diri, harkat dan martabat sebagai orang kaya, maka orang yang duitnya ngepas pun bisa jalan-jalan ke luar negeri atau mengadakan resepsi pernikahan mewah di hotel berbintang sampai honeymoon ke luar negeri dengan mencicil.

Kalau kita pikir secara rasional, tentu gejala cicil- mencicil yang diajukan oleh perusahaan jasa perkreditan sudah tidak rasional lagi. Bagaimana mungkin paket tour ke luar negeri bisa dilakukan oleh peserta yang ngebon, yang seharusnya dari segi logika orang harus nabung dulu baru jalan-jalan, tetapi dengan paket mencicil, orang dipaksa hidup boros dulu baru menabung untuk bayar cicilan. Demikian juga bagi pasangan yang baru menikah dipaksa untuk bergaya hidup mewah untuk merayakan pernikahannya biar dikira kaya, selanjutnya dia juga harus rela membayarkan sebagian besar pendapatannya untuk biaya tagihan dari lembaga keuangan. Demikianlah roda ekonomi berputar serba cepat dan lancar, kreditur harus bekerja berlipat untuk membayar kredit, debitur harus banyak menggelontorkan uangnya untuk mendapatkan bunga dan laba. Dengan sistim ekonomi ini banyak yang berhasil menang dalam pacuan modal, tapi banyak juga yang tertinggal di dunia semu yang penuh harapan, karena kemampuannya tidak sebanding dengan keinginannya, akhirnya hidupnya megap-megap terlilit hutang.

Dua puluh tahun yang lalu gaya hidup nyicil itu mungkin tabu. Masyarakat masih merasa malu jika beli sesuatu dengan ngutang. Pola pikir masyarakat pada saat itu adalah lebih baik melarat tapi tidur tenang, daripada terlihat mewah tapi tidur susah. Belum membudayanya jurus ngutang pada saat itu mungkin disebabkan karena lembaga perkreditan masih belum melihat peluang untuk menggarap pasar pada orang yang belum sempat menabung. Kita tidak tahu pasti. Yang jelas budaya itu sudah merebak kuat, bahkan kita juga merasa kampungan kalau tidak ngredit, dan merasa bergengsi kalau dompet kita penuh dengan kartu kredit. Kalau dulu kita nyembah-nyembah kepada bank untuk mendapatkan kredit, tapi sekarang justru bank yang nyembah kepada kita untuk terus menggunakan fasilitas kredit. Tentu saja jika kreditnya kita kemplang dia akan mengeluarkan jurus sitanya. Itulah yang disebut dengan jurus Rama Sita, yaitu ramah saat lancar bayar dan menyita ketika kita rajin nunggak.

Zaman sekarang justru orang yang membayar lunas tanpa kredit digolongkan ke dalam orang goblok finansial. “Wong bisa nyicil kok dibayar lunas, khan uang lebih baik diputer dulu, lantas hasilnya yang diputer itu bisa digunakan untuk bayar cicilan, bahkan bisa untung lho, soalnya kalau pinter muter uangnya bisa banyak dapat kembalian untuk nyicil yang lain lagi.” Bagaimana seandainya jika tidak bisa muter sesuai keinginan, atau misalnya nasib lagi apes, atau karena gangguan lain yang mengakibatkan modal ludes, bayar cicilannya bisa ngadat dong? Mungkin hal yang mudah tidak perlu dipikir susah, karena memang mudah. “Ya, sita aja barangnya, gitu aja kok repot!”

Hutang itu ada dua jenis. Hutang setan dan hutang malaikat. Hutang setan adalah hutang yang menjerumuskan kualitas hidup. Hutang malaikat adalah hutang yang meningkatkan kualitas hidup. Orang hidup pasti berhutang. Dalam filsafat Hindu setiap manusia memiliki hutang, yaitu hutang kepada Tuhan (Dewa Rna), hutang kepada leluhur (Pitra Rna), hutang kepada manusia (Manusa Rna). Sebenarnya baru lahir kita sudah diselimuti hutang. Bahkan bayi yang lahir di Negara yang hutangnya segudang dia sudah terbebani hutang Negara sejak kepalanya nongol dari liang. Ini merupakan kebalikan dari hutang kepada leluhur, karena leluhurnya yang ngutang, bukan sang bayi.

Banyak orang mengira bahwa hutang bisa dikemplang, diputihkan, didiskon atau dikambangkan pura-pura lupa, siapa tahu si pemberi hutang lupa beneran. Tapi kenyataannya tidak. Orang selalu lebih mengingat hutangnya yang belum terbayar daripada hutangnya yang harus dibayar. Hutang kepada manusia itu bisa dicatat dengan komputer yang disertai bukti-bukti. Jika bukti hutang tidak kuat, tentu saja hutang bisa ditinggal begitu saja. Untuk menghindari hal tersebut seorang pengutang harus melengkapi berbagai syarat dan jaminan hutang sebagai penangkal kemplang yang secara detil dilakukan oleh bank. Lain halnya dengan hutang kepada Tuhan dan kepada leluhur, semuanya tanpa catatan fisik. Hutang yang kita nikmati berupa berkah dan rahmat yang harus kita syukuri setiap hari tidak kita lakukan. Bahkan dengan congkaknya kita menyangkal hutang tersebut. “Keberhasilan ini khan karena hasil kerja kerasku, bukan karena rahmatMu.” Tentu saja malaikat pencatat hutang akan selalu mencatatnya secara otomatis akan kesyukuran dan kekufuran kita. Hutang kepada leluhur juga harus dibayar dengan menghormati, merawat, menjaga martabat dan selalu berbakti kepada orang tua dan leluhur, serta berbuat amal dan kebajikan kepada masyarakat. Kalau kita tidak membayar hutang kepada manusia tentu manusia marah dan selalu diingat di dalam batinnya. Dapat dibayangkan bagaimana jika kita tidak membayar hutang kepada leluhur dan kepada Tuhan tentu Tuhan dan leluhur murka. Kalau sudah demikian rasakan saja azabNya.

Kebiasaan mengemplang hutang adalah suatu penyakit. Seorang ayah memiliki hutang kepada anak dan istrinya dan dia harus membayarnya dengan memberikan nafkahnya untuk kehidupan keluarganya. Hutang itu adalah tanggung jawab yang harus dibayar sebagai seorang kepala keluarga. Seorang ayah yang menelantarkan kehidupan anak dan istrinya akan dilanda kekacauan hidup, kecemasan, kebangkrutan dan berakhir sebagai gelandangan, karena dia lari dari tanggung jawab. Sebaliknya jika seorang ayah dengan tekun dan tulus membayar tanggung jawabnya kepada keluarganya, maka hidupnya akan penuh hikmah dan bermartabat. Itulah kekuatan alam, kekuatan hukum karma, bahwa hutang harus dibayar, kewajiban harus ditunaikan dengan penuh tanggung jawab. Jika kita melalaikannya, akibatnya bisa fatal dalam jangka panjang.

Coba saja kalau mau bukti. Hutang di kartu kredit atau di bank kita coba kemplang. Maka dalam hitungan hari, tukang tagih berbadan kekar dan berwajah sangar mendekati kita untuk menagih dan menyita barang. Kalaupun kita bisa lolos ke luar negeri sehabis ngemplang hutang Negara karena sukses ngeles dan berhasil menghilangkan jejak, tapi kita tetap juga membayar hutang itu dengan penyakit susah tidur, gelisah, takut dan jantung selalu berdegup. Itu juga termasuk sebagian hutang yang telah kita bayar secara spiritual, berupa bunganya saja, yaitu perasaan was-was setiap saat secara lahir batin, yang pada akhirnya bisa mengantarkan kita ke liang kubur karena ketakutan kita akan bayangan sendiri.

KPO/EDISI 136/2007

Thanks for reading Hutang

« Previous
« Prev Post
Next »
Next Post »

0 komentar:

Posting Komentar