BEDAH BUKU
Oleh: Nurfa Rosanti*
Oleh: Nurfa Rosanti*
Judul : Jadilah Intelektual Progresif!
Penulis : Eko Prasetyo
Penerbit : Resist Book, Yogyakarta
Cetakan : I, September 2007
Tebal : v + 133 Halaman
Tak salah kiranya jika Amien Rais menyindir sikap kaum intelektual negeri ini ibarat kancil pilek. Seekor kancil yang meskipun dalam hikayat dikenal sebagai binatang yang pintar, tetapi bila sedang pilek, tidak mampu mencium bau busuk yang ada di sekitarnya. Betapa tidak, beratus-ratus pemuda ’istimewa’ yang berhasil terserap dalam dunia pendi
Sejatinya seorang intelektual (baca: terpelajar, terdidik) tidak sepantasnya berdiam diri ketika terjadi kesewenang-wenangan. Seharusnya mereka mau dan bisa menggerakkan perlawanan. Dari tangan intelektual semacam itulah nantinya bakal lahir pahlawan-pahlawan yang cukup tangguh dari masyarakat untuk memerintah dan membimbing masyarakat. Dengan kata lain menurut Ali Syariati, tanggung jawab pokok seorang intelektual adalah mengetahui, memahami dan mengenal dengan baik kondisi masyarakat sekitarnya untuk kemudian menanamkan dalam alam pikiran publik semua konflik, peertentangan dan antagonisme yang ada dalam masyarakat, (Hal.09).
Lewat buku ini Eko Prasetyo mencoba menyadarkan kembali peran dan tugas kaum intelektual yang paling mendasar, yakni menegakkan kembali ideal masyarakat yang selama ini hanya ada dalam kisah-kisah dongeng. Berbekal kepustakaan yang beragam, buku ini berusaha menampilkan kembali sosok intelektual-intelektual progresif beserta serpihan-serpihan pemikiran yang dihubungkan langsung dengan kondisi kekinian yang menimpa kita. Para intelektual itu adalah Che Guevara, Sayyid Qutb, Ali Syariati, Antonio Gramsci dan Rosa Luxemburg.
Dipilihnya tujuh intelektual progresif itu bukan tanpa alasan. Semua intelektual di atas merupakan sosok intelektual ideal. Yang tidak takut terhadap kematian, penderitaan, dan tidak ngiler ketika dihadapkan dengan kemashyuran demi memperjuangkan tiga tuntutan besar; keadilan, persamaan dan penghapusan kemiskinan. Antonio Gramsci karena kegigihannya berjuang harus rela mati dipenjara; Sayyid Qutb dihukum gantung; Ali Syariati yang ditusuk pisau; Che Guevara yang meregang jiwa oleh peluru pasukan Bolivia dan Rosa Luxemburg yang dipukuli kepalanya berulang-ulang oleh musuh dan akhirnya ditembak dengan keji (hal.17). Tapi semua penderitaan itu tidak selangkahpun menyurutkan niat mereka menyadarkan massa mengenai penindasan dan menggelorakan sebuah perlawanan.
Intelektual semacam inilah yang dibutuhkan negeri ini. Negeri yang dikuasai para koruptor, negeri yang kualitas pendidikan paling rendah, negeri terus menghamba pada negara lain, negeri para budak tentu membutuhkan intelektual-intelektual yang maju untuk menyadarkan masyarakat bahwa semua penderitaan itu akan berakhir jika segenap lapisan masyarakat bergandengan tangan melakukan perubahan.
Pada masa pra kemerdekaan negeri ini mencatat banyak kaum intelektual yang pro rakyat yang lahir dari rahim dunia pendidikan. Sebut saja Tan Malaka, Soekarno, KH Agus Salim, Syahrir, Tirto Adhi Suryo, Mas Marco, dan banyak lagi. Mereka mendedikasikan pengetahuan yang mereka dapat dari bangku sekolah untuk kepentingan masyarakat, untuk menggagas kemandirian dan kemerdekaan sebuah bangsa meski penjara dan kematian dari pihak kolonial terus menjadi ancaman setiap jengkal langkah mereka.
*) Pengajar di SMP Darussyahid Sampang, Madura.


0 komentar:
Posting Komentar