OLEH: DIDIK PURWANTOPenacinta@yahoo.com
Untuk menunjang bisnis pariwisata, industri kuliner tak dapat dilepaskan demi menggaet wisatawan terutama urusan perut. Namun wisatawan terutama wisatawan asing tidak mau hanya sekadar makan dan kenyang. Ada beberapa faktor yang harus diperhatikan terutama dalam melayani tamu khususnya tamu asing. “Wisatawan sangat ketat dalam pengawasan higienitas dan cara penyajian kebersihan makanan (sanitasi),” tegas I Made Winaya, penasehat Indonesian Chief Association (ICA) dalam penyajian Food Heritage Festival 2007 di depan Hotel Inna Veteran, Minggu (30/12).
Makanan tersebut tradisional harus dikemas sesuai standar sanitasi internasional. M
isalnya alas makanan menggunakan daun (meski sudah di atas piring), dan ada penutup makanan. Cara penyajian pun harus menggunakan sarung tangan atau plastik agar bakteri dan kuman tidak hinggap di makanan. “Agar makanan lokal bisa tembus pasar internasional, cara pengolahan hingga penyajian pun harus dengan standar internasional,” tambah Winaya yang juga pengajar cooking class di Sekolah Perhotelan Bali.Dalam festival makanan tradisional tersebut dipamerkan serta diperjualbelikan makanan khas terutama dari Bali. Salah satunya adalah Lawar Gurita milik Pak Tole. Dengan harga Rp 10.000 per porsi kita sudah dapat sepiring nasi putih biasa ditambah lawar gurita, setengah telur tuna goreng, sate ikan lilit, udang goreng bumbu Bali dan cumi goreng bumbu Bali.
Menurut Pak Tole (47), resep tersebut didapat dari keturunan nenek moyangnya. Kakek dan ayahnya adalah seorang nelayan ulung di pantai Sanur. Berkat bimbingan orang tuanya, Pak Tole hingga kini masih menangkap ikan sendiri. Sudah lebih dari 10 tahun pula keluarganya bisa mencari 30 kg gurita dalam sehari. “Meski saya nelayan, pekerjaan utama saya tetap menjadi petani,” ucap Made Sudiartana yang akrab dipanggil Pak Tole.
Dalam sehari, warung yang ada di jalan Kutat Lestari 1 Blanjong Sanur tersebut bisa menghabiskan
sembilan kilo beras dan bumbu genap Bali lainnya. Meski belum banyak orang mengenal warungnya, Pak Tole optimis tetap bisa melanjutkan warisan masakan keluarganya.Makanan khas lainnya adalah Sate Kakul milik Pan Putu. Kakul adalah sejenis binatang yang hidup di sawah, sungai atau pantai dan bisa disebut keong kecil. Binatang ini bisa diolah menjadi sate, ares, tum kakul, krupuk dan pepes.
Karena dimasak secara tradisional dan tanpa bawan pengawet, Kakul bebas kolesterol. Makanan tersebut juga mengandung gizi tinggi seperti protein (12 gr), lemak (1 gr), kalsium (217 mg), fosfor (78 mg), energi (64 kkal) dan air (81 gr). “Rasa khas dari Kakul adalah kenyal. Dengan bumbu kunyit, rasa amis pada Kakul bisa dikurangi. Terlebih dengan campuran sambal kacang dan taburan bawang goreng atau bawang merah mentah. Makanan ini bisa disantap langsung ataupun dengan nasi hangat,” ujar Pan Putu yang memiliki warung di jalan Ahmad Yani Utara 187 Denpasar.


0 komentar:
Posting Komentar