Home » » Pak Kades Apes

Pak Kades Apes

SOKSIOLOGI

Sejak Pak Gentong terpilih menjadi kepala desa, dia sangat dihormati warga dan dipanggil dengan nama baru Pak Kades. Gerakan menjadi tampil berwibawa sejak menyandang nama baru itu. Dengan lebih tegak dan tenang, rajin tersenyum dan mencakupkan kedua telapak tangan saat bertemu, jelas gembira wargapun minta ampun. Setelah menjalani proses sosialisasi diri jadi kades dan merasa diterima di hati masyarakat, Pak Kades mulai menata organisasi desa, membuat program kerja dan merealisasikan secara bertahap. Masyarakat desa berharap banyak kemajuan pembangunan desa yang dicapai selama masa jabatan. Karena desa itu termasuk tertinggal dengan kemiskinan yang menghimpit.

Bukit Lor. Itulah nama desa yang berarti bukit utara itu. Letaknya di kaki bukit pantai utara. Tanah terjal berbatu dan di daerah yang landai ada lahan pertanian padi dan palawija, serta di pesisir masyarakatnya hidup dari nelayan. Petani juga memelihara ternak sapi, kerbau, kambing, ayam dan itik untuk dimakan sendiri, sebagai tabungan tahunan dan sumber pupuk kandang. Warga Bukit Lor tergolong miskin, karena sumber daya yang terbatas dan pendidikan yang rendah. Meski begitu, masyarakat masih tetap tersenyum dan bergembira, terutama saat ada kenduri dan hari raya. Pada saat itu mereka bisa berbaju baru dan mencicipi makanan enak ala Bukit Lor.

Karena kemiskinan yang menghimpit, sebagian warga Bukit Lor bermigrasi ke kota jadi buruh bangunan, kuli, pedagang kaki lima, tukang parkir liar, peminta-minta, pemulung, preman atau WTS. Mereka termasuk manusia pekerja keras, tahan banting dan tahan lapar, karena sudah terbiasa dengan kehidupan yang miskin dan keras. Ada yang berhasil menjalani hidup di kota dan sukses, bahkan banyak yang hidupnya kurang dan pas-pasan. Karena warga Bukit Lor hidup dalam berbagai profesi, nama Bukit Lor jadi semacam legenda di masyarakat kota. Banyak warga kota yang tahu namanya, tapi sangat jarang untuk berkunjung ke sana. Warga Bukit Lor yang sudah pernah hidup di kota juga jarang mau pindah lagi ke desanya. Mereka gigih berjuang hidup di kota, larut dalam perjalanan zaman.

Pak Gentong mendapat tugas berat sebagai kepala desa baru, --membangun desa miskin jadi makmur. Tidak semudah membalik telapak tangan, memang. Mereka harus saling membahu membangun segala potensi desa. Itulah yang membuat Pak Gentong pusing tujuh keliling karena saat pilkades dia terlanjur sesumbar untuk siap membuat perubahan pembangunan di desa dalam berbagai bidang guna mengantar masyarakatnya menjadi sejahtera. Nyatanya, setelah dua tahun perubahan pembangunan apapun belum sempat dilakukan, kecuali pungutan dan sumbangan kepada warga. Itupun terus meningkat dan lebih ketat, serta kewajiban dan sumbangan lain kepada warga pendatang dan perantau yang lebih berat untuk meningkatkan pendapatan desa. Untuk urusan pungutan tentu sebagian besar warga menjadi gondok.

Apa yang membuat Pak Gentong jadi semakin keki sejak menyandang gelar Pak Kades, --sejak warganya menambah satu gelar di belakang gelar lama, yaitu Pak Kades Apes. Entah sejak kapan nyantol gelar itu, Pak Gentong tidak tahu pasti. Awalnya memang samara, sayup terdengar dan tidak masuk akal, tapi setelah itu gelar konyol pas benar nyantol melengkapi nama Pak Kades. Jika ada warga yang menyinggung nama Pak Kades, pasti diidentikkan dengan nasibnya yang lagi apes. Kalau ada warga yang nasibnya apes, pasti dihubungkan dengan keapesan Pak Kades.

Saat pelantikan Pak Gentong menjadi kades, Pak Gentong terlalu bernafsu berjalan menuju podium untuk memberikan sambutan. Mungkin karena kurang konsenterasi atau sedikit gugup, Pak Gentong terpleset naik podium, untung saja ajudannya sigap menahan badannya, kalau tidak, mungkin wajahnya sudah nyungsep mencium ubin. Sejak saat itu gelar apes mulai sayup-sayup terdengar.

Gelar apes menjadi semakin menggema seiring dengan perjalanan waktu. Di saat musim kemarau terjadi kebakaran hutan yang hebat di desanya. Banyak ternak dan rumah warga hangus terbakar, tapi masih untung karena tidak ada korban jiwa. Kehidupan warga menjadi bertambah miskin. Saat musim hujan sebagian wilayah desa tertimbun tanah longsor dan rumah warga yang tinggal di pesisir terseret arus pasang. Puluhan jiwa melayang, dan warga menjadi bertambah miskin karena keganasan alam dan ketidak-siapan warga menghindari keganasan alam.

Tukang tenung dan paranormal di desanya menghubungkan kejadian bencana alam dengan nama Gentong sang kepala desa. Karena gentong terbuat dari tanah liat dan mudah pecah, nasibnya akan selalu bikin apes orang banyak. Tentu warga yang pro Gentong membalas dengan berkata, “Yang logis dong, jangan tahyul”. Pak Gentong terlanjur jadi kepala desa. Bencana alam dan kemiskinan terlanjur menghimpit dan menyiksa.

Seorang pemuda desa mencari pawisik di bawah pohon beringin tua. Pawisik datang membisiki telinganya tepat jam dua belas malam. “Memang antara kepala desa dan bencana alam dan kemiskinan tidak ada hubungannya. Tapi alam sudah mengatur hal-hal yang tidak berhubungan menjadi berhubungan. Tinggal kita mau mengakui atau tidak. Tinggal kita mau belajar atau tidak”. Pemuda desa itu mengerti, kalau memang nasib lagi apes, ya diterima saja dengan lapang dada. Bukan kadesnya yang salah, tapi karena kadesnya lagi apes. “Harap maklum! Kalau tidak maklum siapa suruh memilih kades apes.

Thanks for reading Pak Kades Apes

« Previous
« Prev Post
Next »
Next Post »

0 komentar:

Posting Komentar