Wahyu

Otak Dogler berputar agak cepat. Dia coba mencerna sebait amsal, yang mengatakan, “Bila tidak ada wahyu, menjadi liarlah rakyat”. Untuk mencari jawabannya, dia membuka Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Wahyu berarti petunjuk dari Tuhan yang diturunkan kepada nabi untuk disampaikan kepada umatnya. Sampai di persimpangan ini, otak Dogler kian mumet. Dia belum dapat menghubungkan antara kata wahyu dan rakyat liar. Mengapa bila tidak ada wahyu, rakyat menjadi liar? Dia menemukan kenyataan terbalik di negerinya, --rakyatnya semakin liar saat banyak rakyatnya menerima wahyu. Penduduknya mengaku beragama seratus persen, karena hampir tidak ada penduduk yang mengaku ateis, tetapi kenapa justru rakyatnya menjadi semakin liar, semakin banyak yang selingkuh, semakin banyak maling dan melakukan kekerasan, semakin banyak menipu dan semakin banyak yang bunuh diri.

Di manakah wahyu itu ngumpet sehingga rakyat jadi semakin liar. Khotbah yang setiap hari disampaikan melalui pengeras suara, corong radio dan layar televisi mungkin telah memecah genderang telinga dan membuat mata rakyat katarak, sehingga wahyu yang telah disampaikan melalui telinga, mata dan rasa jadi berlawanan dengan praktek. Terlihat banyak polisi, jaksa dan hakim sibuk menegakkan hukum, bukannya hukum menjadi kian tegak, tapi kian rebah. Ruang penjara jadi kian sesak, sementara di luar sana, sangat banyak yang ngantre untuk masuk ke ruang tahanan. Banyak guru spiritual sibuk berkoar-koar agar masyarakat selalu berbuat baik, tidak mata duitan dan tidak berbuat serong, tapi dia sendiri yang rajin berbuat maksiat, tukang tilep duit sumbangan, bahkan yang paling menjengkelkan ada juga yang suka menggagahi murid perempuan dan menjual narkoba. “Waduh! Apakah dunia ini jadi semakin edan? Atau manusianya yang semakin gendeng? Wahyu yang disampaikan itu tidak dipraktekkan umatNya, dan jadi liarlah rakyat,” gumam Dogler sambil memijit-mijit kening yang menonjol dan lebar.

Dogler membuka sebuah buku tebal di perpustakaan kota. Matanya menggores seuntai kalimat dari Khong Hucu, ”Kalau pedang-pedang berkarat dan pacul-pacul berkilat, kalau tangga rumah ibadat rusak oleh tapak kaki orang beriman, dan di halaman pengadilan tumbuh rumput, kalau penjara kosong dan gudang-gudang padi penuh, kalau tabib-tabib berjalan itu pertanda bahwa negara diperintah dengan baik.”

Dia merenung sambil menghembuskan asap rokok di sebuah warung tempat biasanya dia nongkrong. Mata dipejamkan sebentar seperti ayam kena flu burung. Pikiran mencerna kalimat Khong Hucu 500 SM. “Makanya, jangan kebanyakan bengong, nanti bisa stres lho. Wong hidup sudah semakin susah, koq masih dipikir susah,” kata mbok warung sambil menepuk pundak Dogler. “Tambah kopinya segelas dan rokok dua bungkus lagi!” sahut Dogler tanpa menoleh. Dogler melanjutkan renungannya sambil menghirup rokok dengan hisapan pertama yang dalam, dibiarkan nikotin mengendap beberapa saat di dalam paru-paru sampai tersebar darah ke seluruh tubuhnya. Otak terasa plong, lalu dia melanjutkan lamunannya sambil menyorongkan kopi pahit ke bibir. Gayanya percis bintang iklan.

Jika pedang-pedang berkarat berarti di dalam Negara tidak ada perang yang harus dilakukan, semuanya dalam keadaan damai. Saat pacul-pacul berkilat, berarti seluruh rakyat rajin bekerja dan menunaikan tugasnya sesuai dengan keahlian dan tanggung jawabnya. Di sana tidak ada pengangguran dan selalu ada hal yang bisa dikerjakan, karena rakyatnya rajin, tekun dan pintar, bukan rakyat yang bodoh, malas dan licik. Tangga rumah ibadat yang rusak oleh tapak kaki orang yang beriman berarti masyarakatnya khusyuk dalam berdoa, giat dalam bekerja dan rendah hati dalam bersikap. Orang yang beriman menyatukan seluruh pikiran, perkataan dan tindakannya dalam wahyu. Apa yang disampaikan oleh nabinya, itulah yang dipikirkan, diucapkan dan dilaksanakannya. Bukan hanya raganya saja yang pergi ke rumah ibadat, tapi jiwanya juga. Penjara yang kosong, gudang-gudang padi yang penuh, serta tabib-tabib berjalan, berarti negara tersebut sudah dalam kondisi yang aman, adil, makmur, sehat dan sejahtera. Kondisi itu menerangkan bahwa pemerintahan di dalam suatu negara sudah berjalan dengan baik. Rakyat kelaparan, pengemis, gelandangan dan fakir miskin sudah tidak kelihatan batang hidungnya. Profesi menjadi maling, penipu dan pemaksiat sudah tidak diminati oleh masyarakat, karena sudah banyak ada lapangan pekerjaan dan hukum sudah ditegakkan. Para dokter, tabib dan dukun penyembuh sudah bisa santai, tidak sibuk lagi mengurus orang sakit, tapi cukup memelihara orang sehat saja.

Manusia dibagi dalam dua tipe, manusia langit dan manusia rendah. Manusia langit adalah manusia bijaksana, yaitu mereka yang berjiwa ksatria, mencintai rakyat, berani, selalu hikmat akan langit dan ajaran langit; mereka yang tidak mengumbar nafsu dan tidak mencari kenikmatan duniawi, selalu bersemangat dan tekun dalam bekerja, murah hati, saling menghormati sesama dan penuh dengan kebajikan. Manusia rendah adalah mereka yang malas, bodoh, pegecut, mencari untung sendiri dan ingin menang sediri. Khong Hucu menyebut manusia langit sebagai Kiun Tse, yang berarti ia yang bijaksana, karena memiliki sifat langit, yaitu cinta kasih (Ren) dan keadilan (Ji).

Tugas seorang pemimpin adalah mengantarkan rakyat ke dunia langit, --menjadikan rakyat untuk menikmati dunia yang damai, adil dan sejahtera. Untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat harus dimulai dari pendidikan yang merata, menyeluruh dan mendalam. Dengan begitu, rakyat akan jadi semakin mandiri, cerdas dan semakin berdaya untuk saling membahu membangun dunia langit. Kalau kita menganggap bahwa pendidikan mahal, maka mungkin perlu dicoba bagaimana lebih mahalnya kebodohan. Karena masyarakat yang cerdaslah maka kedamaian, keadilan dan kesejahteraan bisa diciptakan. Biaya pendidikan yang mahal, akibat lemahnya tanggung jawab pemerintah dalam melaksanakan tugas sebagai pendidik bangsa akan menciptakan kesenjangan pendidikan dalam masyarakat. Kesenjangan dalam pendidikan menciptakan kesenjangan sosial, budaya, ekonomi dan politik, yang akhirnya akan semakin menjauhkan rakyat menuju dunia langit. Pendidikan ibarat kuda semberani yang mampu menerbangkan masyarakat ke dunia langit. Karena tanpa pendidikan, masyarakat akan terus hidup di dunia rendah, saling sikut dan saling sikat, saling garong dan saling goreng untuk sekedar hidup dan pertahankan hidup.

Dogler menyulut rokok yang terakhir, sambil menatap mantap ke depan dengan tujuan yang pasti, --memberdayakan masyarakat melalui pendidikan. Dia telah mantap hatinya pulang kampung untuk membangun sekolah kejuruan gratis. Entah apapun namanya, tidaklah masalah, yang penting dia ingin berkarya. Pendidikan tinggi yang dilalui di universitas seakan tidak berarti di Jakarta. Ilmu dan pengalamannya selama di Jakarta mungkin lebih bermanfaat jika dipraktekkan di desa. Masalah biaya pendidikan gratis tidak jadi soal jika hati telah mantap berkarya, karena dia sudah terbiasa hidup miskin di kota besar, dia sudah biasa hidup bekerja keras memeras keringat dan otak. Dengan pengalaman, pergaulan luas dan jaringan yang kuat dia yakin bisa menjalankan misinya yang mulia, sebagai inspirasi dari ajaran Kong Hucu, bahwa pendidikan itu terbuka bagi semua kelas masyarakat, bukan menjadi monopoli kaum bangsawan

KPO/EDISI 135/2007

Thanks for reading Wahyu

« Previous
« Prev Post
Next »
Next Post »

0 komentar:

Posting Komentar