Pasca pemilu legislatif 9 April lalu, calon legislatif (caleg) yang gagal meraih suara menjadi perhatian public. Ada yang kaget lalu jantungan dan meninggal. Ada yang depresi berat, murung dan bertingkah laku aneh. Beberapa di antaranya diantar keluarga ke rumah sakit atau klinik alternatif untuk mendapatkan perawatan intensif.
Rata-rata para caleg yang stres tersebut kecewa karena sudah banyak uang yang mereka keluarkan selama kampanye, membiayai tim sukses, membuat poster atau baliho yang terpampang di setiap sudut kota. Sebuah sinyal bahwa kursi dewan legislatif bukan lagi menjadi kursi pelayanan tetapi kursi basah bergelimang rupiah. Menjadi anggota dewan bagi sebagian caleg berarti: Kesempatan Untuk Mengembalikan Pengeluaran. Mungkin terkesan berlebihan, tapi jawaban ini kita maknai sebagai suatu awasan. Tentang kiprah politisi pasca pemilu ini.
Masih segar dalam ingatan publik, pengakuan pengalaman sekelompok masyarakat (bisa mewakili sebagian besar masyarakat). “…sebelum pemilu, banyak sekali orang dan partai datang kepada kami. Mereka memberi ini dan itu. Mereka begitu murah hati. Tapi setelah pemilu, tidak ada satu pun yang datang, berpapasan pun tidak menegur..?”.
Bagi kita, ini sebuah pengakuan yang tulus dan jujur sekaligus mendefenisikan siapa dan apa kiprah politisi pra dan pasca pemilu. Lebih dari itu, mengekspresikan sebuah harapan tak kunjung henti, kerinduan yang tak bertepi, untuk dikunjungi dan diperhatikan. Sebuah kerinduan yang sebenarnya ironis.
Memang, apa sesungguhnya politik dan politisi serta kiprahnya agak sulit dirumuskan. Hal ini dilatarbelakangi oleh luasnya bidang cakupan politik. Luasnya cakupan politik telah melahirkan aneka ragam deskripsi tentang politik. Politik menjadi diskursus yang hangat di setiap tempat dan waktu, menjelang dan sesudah Pemilu. Sebagian besar orang misalnya, memberi batasan politik sebagai”tipu”. Politik itu tipu. Ini bisa dibenarkan karena pengetahuan dan pengalaman politik konkret mereka lebih diwarnai dengan janji. Politik sama dengan janji, dan janji sering tinggal janji. Makanya mereka melihat politik dengan tipu. Politik juga disamakan dengan tipu karena politik lebih merupakan suatu kebijakan yang tidak dapat dipercaya untuk menggapai tujuan-tujuan tertentu. Suatu kebijaksanaan yang tidak bijaksana. Artinya, politik merupakan kemampuan para politisi untuk menggunakan kesempatan, menangkap peluang dan kemauan berbuat lebih demi memperkaya diri dan golongan.
Terlepas dari beragamnya rumusan politik, stereotip negatif tentang politik tetapi terdapat suatu esensi yang pasti dan sebenarnya akan hakikat politik itu. Politik yang benar harus bisa membebaskan dan memerdekakan. Membebaskan dan memerdekakan manusia dari kesewenangan, kebohongan dan ketidakadilan. Berdasarkan artian ini, politik memiliki makna esensial, mengemban sebuah misi kemanusiaan. Memperjuangkan pemanusiaan manusia. Itulah hakekat politik yang sebenarnya. Karena peran etis dan mulia inilah, maka dituntut politisi yang berwatak, berkepribadian, menjunjung tinggi harkat dan mertabat manusia. Dan ditolak habis-habisan politisi busuk. Tapi apakah benar, politisi busuk benar-benar telah dibebaskan dari arena politik pasca pemilu? Semoga!
KORAN PAK OLES/EDISI 173/16-30 APRIL 2009
Rata-rata para caleg yang stres tersebut kecewa karena sudah banyak uang yang mereka keluarkan selama kampanye, membiayai tim sukses, membuat poster atau baliho yang terpampang di setiap sudut kota. Sebuah sinyal bahwa kursi dewan legislatif bukan lagi menjadi kursi pelayanan tetapi kursi basah bergelimang rupiah. Menjadi anggota dewan bagi sebagian caleg berarti: Kesempatan Untuk Mengembalikan Pengeluaran. Mungkin terkesan berlebihan, tapi jawaban ini kita maknai sebagai suatu awasan. Tentang kiprah politisi pasca pemilu ini.
Masih segar dalam ingatan publik, pengakuan pengalaman sekelompok masyarakat (bisa mewakili sebagian besar masyarakat). “…sebelum pemilu, banyak sekali orang dan partai datang kepada kami. Mereka memberi ini dan itu. Mereka begitu murah hati. Tapi setelah pemilu, tidak ada satu pun yang datang, berpapasan pun tidak menegur..?”.
Bagi kita, ini sebuah pengakuan yang tulus dan jujur sekaligus mendefenisikan siapa dan apa kiprah politisi pra dan pasca pemilu. Lebih dari itu, mengekspresikan sebuah harapan tak kunjung henti, kerinduan yang tak bertepi, untuk dikunjungi dan diperhatikan. Sebuah kerinduan yang sebenarnya ironis.
Memang, apa sesungguhnya politik dan politisi serta kiprahnya agak sulit dirumuskan. Hal ini dilatarbelakangi oleh luasnya bidang cakupan politik. Luasnya cakupan politik telah melahirkan aneka ragam deskripsi tentang politik. Politik menjadi diskursus yang hangat di setiap tempat dan waktu, menjelang dan sesudah Pemilu. Sebagian besar orang misalnya, memberi batasan politik sebagai”tipu”. Politik itu tipu. Ini bisa dibenarkan karena pengetahuan dan pengalaman politik konkret mereka lebih diwarnai dengan janji. Politik sama dengan janji, dan janji sering tinggal janji. Makanya mereka melihat politik dengan tipu. Politik juga disamakan dengan tipu karena politik lebih merupakan suatu kebijakan yang tidak dapat dipercaya untuk menggapai tujuan-tujuan tertentu. Suatu kebijaksanaan yang tidak bijaksana. Artinya, politik merupakan kemampuan para politisi untuk menggunakan kesempatan, menangkap peluang dan kemauan berbuat lebih demi memperkaya diri dan golongan.
Terlepas dari beragamnya rumusan politik, stereotip negatif tentang politik tetapi terdapat suatu esensi yang pasti dan sebenarnya akan hakikat politik itu. Politik yang benar harus bisa membebaskan dan memerdekakan. Membebaskan dan memerdekakan manusia dari kesewenangan, kebohongan dan ketidakadilan. Berdasarkan artian ini, politik memiliki makna esensial, mengemban sebuah misi kemanusiaan. Memperjuangkan pemanusiaan manusia. Itulah hakekat politik yang sebenarnya. Karena peran etis dan mulia inilah, maka dituntut politisi yang berwatak, berkepribadian, menjunjung tinggi harkat dan mertabat manusia. Dan ditolak habis-habisan politisi busuk. Tapi apakah benar, politisi busuk benar-benar telah dibebaskan dari arena politik pasca pemilu? Semoga!
KORAN PAK OLES/EDISI 173/16-30 APRIL 2009
0 komentar:
Posting Komentar