“Nawang Gantungan Kelanjali”
Oleh: Putu Sugih Arta*
Perjalanan seni
wayang sampai di daerah Lombok , ditenggarai beberapa ilmuwan sejarah, dibawa oleh santri-santri pasca kerajaan Majapahit berupa seni tontonan wayang. Namun, andaikata ditinjau lebih jauh, gumi paer —sebutan wilayah tradisi budaya Sasak— mengenal cerita wayang sejak jaman Mpu Sindok (930 M) pendiri dinasti Isana Kerajaan Kadiri, di tanah Jawa.
Seiring perjalanan waktu, seni pewayangan menjadi alat yang sangat komunikatif dan mudah diterima masyarakat, sehingga ajaran-ajaran dalam kitab suci dapat disisipkan untuk menambah bobot pertunjukan. Hal itu, terjadi dari zaman pra Majapahit sampai pasca Majapahit. Di zaman pasca Majapahit, para Wali selain membawa naskah Panji (pakem Jayengrana) juga membuat naskah–naskah parikan yang disesuaikan dengan kondisi alam gumi paer. Parikan yang dimaksud, di antaranya, disusun dalam takepan lontar pesasakan Kabar Sundari.
Begitu pula cerita yang dibawakan oleh Ki Dalang Saidah Nur Candra dari Sanggar Sekar Kedaton, Dusun Tanak Song, Desa Jenggala Daye, Kecamatan Tanjung Kabupaten Lombok Barat dalam acara yang digelar Taman Budaya Provinsi Nusa Tenggara Barat, 19 April 2008 lalu merupakan lakon parikan lainnya. Tepatnya, ia mementaskan lakon yang berjudul Nawang Gantungan Kelanjali.
Cerita ini mengisahkan polemik yang terjadi di kerajaan Nawang Gantungan. Di mana rajan Prabu Kelanjali merasa tidak nyaman putrinya menikah dengan Wong Agung Jayengrana. Akibatnya, cucu kandungnya yakni Raden Banjaran Sari, tanpa belas kasihan dibuangnya ke laut lepas. Untunglah saat detik-detik yang menggenaskan itu hadir sosok Dewi Kuraisin dari Azrak. Ia dengan penuh kasih sayang menolong Raden Banjaran Sari dari jeratan maut.
Lalu Raden Banjaran Sari dipelihara oleh Dewi Kuraisin hingga dewasa, lantas melakukan pengembaraan tidak tentu rimbanya. Akhirnya, di tengah dan kebimbangan jiwanya, ia bertemu dengan Raja Yabi’ul Awal dari Kerajaan Sindang Dayak. Raja Yabi’ul Awal mengangkat Raden Banjaran Sari menjadi putranya sendiri. Namun, di luar dugaan, Raja Yabi’ul Awal punya pikiran tamak kekuasaan. Ia ingin merebut dan menjajah Kerajaan Arab yang dipimpin oleh Wong Agung Jayengrana.
Di negeri Arab, Wong Agung Jayengrana beserta para punggawanya yang kebingungan mencari anaknya hilang. Seluruh wilayah mereka telusuri, hasilnya nihil. Raden Banjaran Sari seakan raib ditelan bumi. Namun, Wong Agung Jayengrana tiada putus harapan. Ia bersama panglimanya Raden Umar Maya dengan kekuatan penuh mencari putra kesayangan istana. Dalam perjalanan, mereka bertemu dengan pasukan dari balatentara Kerajaan Sindang Dayak yang hendak menggempur Kerajaan Puser Bumi Arab. Pertempuran pun tak bisa dihindari, perang dahsyat tak bisa dicegah. Wong Agung Menak Jayengrana tampil di medan laga menghadapi pasukan musuh yang dipanglimai oleh Raden Banjaran Sari. Dan, malang tak dapat ditolak, ayah dan anak bertempur tanpa mengetahui siapa lawan tandingnya. Wong Agung Menak, ayahnya, memang tak mengenal putranya karena sangat lama berpisah. Begitu pula putranya.
Pertandingan laga itu, seimbang. Mereka memiliki kesaktian yang sama. Cerita ini menggema ke pelosok negeri, dan didengar juga oleh Dewi Kuraisin. Sampai akhirnya, Dewi Kuraisin datang sendiri kemedan tempur, mendamaikan mereka. Raden Banjaran Sari adalah putra Wong Agung Jayengrana dari permaisuri Dewi Kelanjali. Sadar mereka anak dan ayah, mereka berangkulan, bersimbah airmata haru.
Akhirnya, Raden Banjaran Sari menyadari semua tragedi ini adalah muslihat Raja Sindang Dayak. Ia pun pamitan pada ayahndanya untuk menggempur Kerajaan Sindang Dayak. Dalam pertempuran, Raja Yabi’ul Awal tewas di tangan Raden Banjaran Sari.
Pementasan Sanggar Sekar Kedaton merupakan pengisi malam apresiasi budaya di lapangan terbuka Taman Budaya NTB. “Ya, dengan diberikan kesempatan mengisi pentas budaya, masyarakat tradisi akan terus berkretifitas untuk melestarikan seni adiluhung ini,”ujar Ki Dalang Rusmadi, SSn.
Ki Dalang Saidah Nur Candra tergabung dalam sebuah organisasi seni pedalangan Sekar Kedaton yang dipimpin oleh Nuryanto dan berdiri sejak 3 Oktober 1989. Organisasi selalu melakukan latihan rutin untuk pemberdayaan anggota. Pengurus aktif sejumlah 25 orang, dan 9 orang di antaranya rutin mendukung pentas pedalangan yang kerapkali diupah menghibur masyarakat seputar Kecamatan Tanjung dan Bayan yang punya hayatan sunat dan perkawinan.
Berani hadir di pentas apresiasi, merupakan nilai tersendiri bagi kelompok seni pedalangan ini dalam upaya meningkatkan diri. Pasalnya, hujan pujian dan kritisi membangun akan datang dari berbagai pemerhati budaya. Harapannya, tentu organisasi akan matang melalui berbagai tahapan revitalisasi menuju kemajuan seni adiluhung nusantara. Seyogyanya, peta kekuatan seni pewayangan tidak berpusat di Jawa danBali saja. Karena pulau Lombok juga kaya dengan materi parikan yang unik dan menantang.
*) Budayawan tinggal di Mataram.
Oleh: Putu Sugih Arta*
Perjalanan seni

Seiring perjalanan waktu, seni pewayangan menjadi alat yang sangat komunikatif dan mudah diterima masyarakat, sehingga ajaran-ajaran dalam kitab suci dapat disisipkan untuk menambah bobot pertunjukan. Hal itu, terjadi dari zaman pra Majapahit sampai pasca Majapahit. Di zaman pasca Majapahit, para Wali selain membawa naskah Panji (pakem Jayengrana) juga membuat naskah–naskah parikan yang disesuaikan dengan kondisi alam gumi paer. Parikan yang dimaksud, di antaranya, disusun dalam takepan lontar pesasakan Kabar Sundari.
Begitu pula cerita yang dibawakan oleh Ki Dalang Saidah Nur Candra dari Sanggar Sekar Kedaton, Dusun Tanak Song, Desa Jenggala Daye, Kecamatan Tanjung Kabupaten Lombok Barat dalam acara yang digelar Taman Budaya Provinsi Nusa Tenggara Barat, 19 April 2008 lalu merupakan lakon parikan lainnya. Tepatnya, ia mementaskan lakon yang berjudul Nawang Gantungan Kelanjali.
Cerita ini mengisahkan polemik yang terjadi di kerajaan Nawang Gantungan. Di mana rajan Prabu Kelanjali merasa tidak nyaman putrinya menikah dengan Wong Agung Jayengrana. Akibatnya, cucu kandungnya yakni Raden Banjaran Sari, tanpa belas kasihan dibuangnya ke laut lepas. Untunglah saat detik-detik yang menggenaskan itu hadir sosok Dewi Kuraisin dari Azrak. Ia dengan penuh kasih sayang menolong Raden Banjaran Sari dari jeratan maut.
Lalu Raden Banjaran Sari dipelihara oleh Dewi Kuraisin hingga dewasa, lantas melakukan pengembaraan tidak tentu rimbanya. Akhirnya, di tengah dan kebimbangan jiwanya, ia bertemu dengan Raja Yabi’ul Awal dari Kerajaan Sindang Dayak. Raja Yabi’ul Awal mengangkat Raden Banjaran Sari menjadi putranya sendiri. Namun, di luar dugaan, Raja Yabi’ul Awal punya pikiran tamak kekuasaan. Ia ingin merebut dan menjajah Kerajaan Arab yang dipimpin oleh Wong Agung Jayengrana.
Di negeri Arab, Wong Agung Jayengrana beserta para punggawanya yang kebingungan mencari anaknya hilang. Seluruh wilayah mereka telusuri, hasilnya nihil. Raden Banjaran Sari seakan raib ditelan bumi. Namun, Wong Agung Jayengrana tiada putus harapan. Ia bersama panglimanya Raden Umar Maya dengan kekuatan penuh mencari putra kesayangan istana. Dalam perjalanan, mereka bertemu dengan pasukan dari balatentara Kerajaan Sindang Dayak yang hendak menggempur Kerajaan Puser Bumi Arab. Pertempuran pun tak bisa dihindari, perang dahsyat tak bisa dicegah. Wong Agung Menak Jayengrana tampil di medan laga menghadapi pasukan musuh yang dipanglimai oleh Raden Banjaran Sari. Dan, malang tak dapat ditolak, ayah dan anak bertempur tanpa mengetahui siapa lawan tandingnya. Wong Agung Menak, ayahnya, memang tak mengenal putranya karena sangat lama berpisah. Begitu pula putranya.
Pertandingan laga itu, seimbang. Mereka memiliki kesaktian yang sama. Cerita ini menggema ke pelosok negeri, dan didengar juga oleh Dewi Kuraisin. Sampai akhirnya, Dewi Kuraisin datang sendiri ke
Akhirnya, Raden Banjaran Sari menyadari semua tragedi ini adalah muslihat Raja Sindang Dayak. Ia pun pamitan pada ayahndanya untuk menggempur Kerajaan Sindang Dayak. Dalam pertempuran, Raja Yabi’ul Awal tewas di tangan Raden Banjaran Sari.
Pementasan Sanggar Sekar Kedaton merupakan pengisi malam apresiasi budaya di lapangan terbuka Taman Budaya NTB. “Ya, dengan diberikan kesempatan mengisi pentas budaya, masyarakat tradisi akan terus berkretifitas untuk melestarikan seni adiluhung ini,”ujar Ki Dalang Rusmadi, SSn.
Ki Dalang Saidah Nur Candra tergabung dalam sebuah organisasi seni pedalangan Sekar Kedaton yang dipimpin oleh Nuryanto dan berdiri sejak 3 Oktober 1989. Organisasi selalu melakukan latihan rutin untuk pemberdayaan anggota. Pengurus aktif sejumlah 25 orang, dan 9 orang di antaranya rutin mendukung pentas pedalangan yang kerapkali diupah menghibur masyarakat seputar Kecamatan Tanjung dan Bayan yang punya hayatan sunat dan perkawinan.
Berani hadir di pentas apresiasi, merupakan nilai tersendiri bagi kelompok seni pedalangan ini dalam upaya meningkatkan diri. Pasalnya, hujan pujian dan kritisi membangun akan datang dari berbagai pemerhati budaya. Harapannya, tentu organisasi akan matang melalui berbagai tahapan revitalisasi menuju kemajuan seni adiluhung nusantara. Seyogyanya, peta kekuatan seni pewayangan tidak berpusat di Jawa dan
*) Budayawan tinggal di Mataram.
0 komentar:
Posting Komentar