OLEH:INDAH WULANDARI
hadni_wulan@yahoo.co.id
Salah satu genre dalam dunia sastra adalah travel writing (catatan perja
lanan) atau sastra pelancongan. Genre yang kurang populer di Indonesia ini ternyata menjadi lahan kreatif yang subur bagi Sigit Susanto.Pria kelahiran Kendal, Jawa Tengah ini bahkan telah membukukan catatan perjalanannya ke 26 negara dalam dua jilid, Menyusuri Lorong-lorong Dunia (2005) dan jilid 2 diluncurkan tahun ini.
Sigit Susanto menuliskan kunjungannya ke sekitar 10 negara kawasan Eropa, Rusia, hingga Amerika Selatan dalam Buku Menyusuri Lorong-lorong Dunia yang pertama. Sebagian besar tulisannya pernah beredar di berbagai milis Apresiasi-Sastra dan Jalansutra, serta dimuat pula di berbagai media cetak nasional. Dalam jilid kedua, Kang Sigit, panggilan akrabnya melukiskan perjalanan ke 7 negara seperti Portugal, Maroko, Vietnam, Cina, Irlandia (Dublin), Rumania (Budapest), dan lainnya. Sayang ia mengaku kehilangan catatan perjalanan kisahnya di antara 26 negara yang pernah dikunjungi. Catatan perjalanan bergaya sastra yang enak dibaca ini memuat tulisan Ulysses Dibaca Selama Tiga Tahun, Bloomsday, Jejak James Joyce di Dublin, Palu dan Arit di Budapest, Lintas Portugal, Membuka Memori Maroko, Cina Berwajah Dua, dan Kisah Seorang Paman di Vietnam.
''Catatan perjalanannya tidak hanya hasil melancong secara visual tapi ada ziarah literer yang berkaitan dengan kisah seorang pengarang dari sebuah negeri dan proses kreatif penciptaan sebuah literatur," nilai Warih Wisatsana, penyair Bali saat tampil menjadi pembicara launching buku “Menyusuri Lorong-lorong Dunia, Jilid 2” , Sabtu lalu (24/5) di Toko Buku Togamas, Denpasar. Ia juga bisa menarik kesimpulan tentang Sigit dari bukunya. Menurutnya, Sigit punya kecintaan pada sastra yang besar, kepedulian terhadap kondisi sosial dan politik yang tinggi serta kecintaan pada tanah air. Tersimak nada empati dan keterkaitan batin dengan kondisi di tanah air beralur dasar pertanyaan tentang tanah air dari negeri seberang.
Kisah perjalanan Sigit dimulai saat ia menjadi guide Jerman di Bali kisaran tahun 1988-1996. Pertemuannya dengan turis asal Swiss, Claudia Beck mengubah jalan hidup. Sejak 12 tahun lalu ia menetap di Swiss yang tumbuhkan kesadar
an akan pentingnya menulis karena dahaganya akan literatur terpenuhi di perpustakaan-perpustakaan di sana. Hobi travelling bersama sang istri membuat Sigit makin terpacu menabung hasil kerjanya selama 2 bulan untuk biaya perjalanan. ''Saya memposisikan diri sebagai 'wong ndeso' yang sama sekali tidak tahu apa-apa dan ingin menceritakan kembali pengalaman perjalanan kepada orang-orang di kampung asal saya," jelasnya.
Semua tulisannya terangkum dari data-data lisan maupun pustaka hasil penelitian dan pengamatan jeli serta spontanitas Kang Sigit selama melancong. Ia bisa menemui perbedaan politik dan budaya (cross cultural) yang terjadi antarbangsa. Terutama dari sisi negatif dan positif doktrinasi serta ideologi sosial masyarakat di negara tersebut. Misalnya, Sigit menangkap nilai humanisme di antara kontradiksi Cina dan Amerika Serikat. Pemikiran komunis Cina masih dikuasai para penguasa tua yang diktator. Namun, aroma kapitalis yang ditebar AS terbaca pula di Cina lewat pembangunan gedung-gedung pencakar langit, sedangkan gedung-gedung tersebut memuat unsur nasionalis dengan menyematkan bendera kecil di sisi depannya. Sigit, imbuh Wayan Sunarta, sang moderator acara, sepertinya amat cermat dan tertarik pada negara komunis tersebut. Pasalnya, ia menulis sub judul China Bermuka Dua dalam 29 ribu kata.
hadni_wulan@yahoo.co.id
Salah satu genre dalam dunia sastra adalah travel writing (catatan perja
Sigit Susanto menuliskan kunjungannya ke sekitar 10 negara kawasan Eropa, Rusia, hingga Amerika Selatan dalam Buku Menyusuri Lorong-lorong Dunia yang pertama. Sebagian besar tulisannya pernah beredar di berbagai milis Apresiasi-Sastra dan Jalansutra, serta dimuat pula di berbagai media cetak nasional. Dalam jilid kedua, Kang Sigit, panggilan akrabnya melukiskan perjalanan ke 7 negara seperti Portugal, Maroko, Vietnam, Cina, Irlandia (Dublin), Rumania (Budapest), dan lainnya. Sayang ia mengaku kehilangan catatan perjalanan kisahnya di antara 26 negara yang pernah dikunjungi. Catatan perjalanan bergaya sastra yang enak dibaca ini memuat tulisan Ulysses Dibaca Selama Tiga Tahun, Bloomsday, Jejak James Joyce di Dublin, Palu dan Arit di Budapest, Lintas Portugal, Membuka Memori Maroko, Cina Berwajah Dua, dan Kisah Seorang Paman di Vietnam.
''Catatan perjalanannya tidak hanya hasil melancong secara visual tapi ada ziarah literer yang berkaitan dengan kisah seorang pengarang dari sebuah negeri dan proses kreatif penciptaan sebuah literatur," nilai Warih Wisatsana, penyair Bali saat tampil menjadi pembicara launching buku “Menyusuri Lorong-lorong Dunia, Jilid 2” , Sabtu lalu (24/5) di Toko Buku Togamas, Denpasar. Ia juga bisa menarik kesimpulan tentang Sigit dari bukunya. Menurutnya, Sigit punya kecintaan pada sastra yang besar, kepedulian terhadap kondisi sosial dan politik yang tinggi serta kecintaan pada tanah air. Tersimak nada empati dan keterkaitan batin dengan kondisi di tanah air beralur dasar pertanyaan tentang tanah air dari negeri seberang.
Kisah perjalanan Sigit dimulai saat ia menjadi guide Jerman di Bali kisaran tahun 1988-1996. Pertemuannya dengan turis asal Swiss, Claudia Beck mengubah jalan hidup. Sejak 12 tahun lalu ia menetap di Swiss yang tumbuhkan kesadar
Semua tulisannya terangkum dari data-data lisan maupun pustaka hasil penelitian dan pengamatan jeli serta spontanitas Kang Sigit selama melancong. Ia bisa menemui perbedaan politik dan budaya (cross cultural) yang terjadi antarbangsa. Terutama dari sisi negatif dan positif doktrinasi serta ideologi sosial masyarakat di negara tersebut. Misalnya, Sigit menangkap nilai humanisme di antara kontradiksi Cina dan Amerika Serikat. Pemikiran komunis Cina masih dikuasai para penguasa tua yang diktator. Namun, aroma kapitalis yang ditebar AS terbaca pula di Cina lewat pembangunan gedung-gedung pencakar langit, sedangkan gedung-gedung tersebut memuat unsur nasionalis dengan menyematkan bendera kecil di sisi depannya. Sigit, imbuh Wayan Sunarta, sang moderator acara, sepertinya amat cermat dan tertarik pada negara komunis tersebut. Pasalnya, ia menulis sub judul China Bermuka Dua dalam 29 ribu kata.
0 komentar:
Posting Komentar